Mohon tunggu...
Echa Antaresa
Echa Antaresa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

An editor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Kata Seniman: Pandangan terhadap Wanita Sebagai Objek Sebelah Mata

19 Juni 2023   20:30 Diperbarui: 19 Juni 2023   20:35 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mima Sobu dengan karyanya "Woman, Boundaries" (2022) pada pameran Tanaya Art Space (25/02) di Bekasi, Jawa Barat | Sumber: Pribadi

Seorang wanita pada umumnya memiliki kodrat yang sangat tinggi di kalangan kehidupan sosial. Wanita sering kali dipandang sebagai seseorang yang hanya memiliki keahlian spesifik teruntuk mengurus rumah tangga, memasak dan keahlian yang lainnya tanpa harus bekerja keras layaknya seperti pria di luar sana.

Tetapi apa sih pendangan seorang seniman terhadap wanita, apakah hanya sebuah objek tanpa kreativitas dan keahlian yang dapat membuatnya memiliki nilai dalam diri? Tentu pada kesempatan ini kami akan mewawancarai seorang seniman bernama Mima Sobu dan kita akan berbicara bagaimana wanita dipandang sebelah mata.

Mima sobu berkata pada wawancaranya, ia berpendapat bahwa perspektif lingkup sosial di indonesia melihat keberadaan seorang wanita sampai hari ini yang sudah modern, perempuan masih memiliki tuntutan pekerjaan yang kesannya domestik. Seperti menyuci, masak, beberes rumah, dan sebagainya. Yang sering terjadi di Indonesia kalau perempuan tidak bisa melakukan hal yang berat seperti bekerja kantoran. Katanya hal ini membuat persepsi yang berdasarkan "Are you even a woman?" "And then what can you give to your family if you can't cook, doing chores?"

Persepsi inilah yang dapat menggiring sebuah opini bahwasannya wanita dikodratkan hanya untuk mengurus kegiatan rumah tangga. Di samping itu wanita hanya bertugas untuk mempercantik diri dan merawat anak-anaknya kelak. Apakah wanita di takdirkan hanya untuk seperti ini? Tentu tidak. Tetapi ada salah satu faktor yang mendasar pada persepsi yang muncul di masyarakat Indonesia.

Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam, mulai mengatur keuangan, memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga, menjaga kebersihan serta keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, dan keperluan lainnya. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh perempuan. Sedangkan untuk lelaki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.

Jika melihat sejarahnya, memang peran wanita sejak dahulu lebih dominan pada kerjaan domestik sedangkan laki-lakilah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang disepakati. Namun dalam prakteknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun, bagaimanapun juga hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam pekerjaan domestik.

Menurut Dafiena Hardianti, Seorang karyawan swasta, faktor tersebut karena adanya budaya patriarki yang sangat kental dibawa dari leluhur kita yang terdahulu, dan ini sangat melekat di Indonesia bahkan sampan saat ini itu masih mendarah daging. Memang pada dasarnya budaya indonesia masih sangat di lindungi pula masih sangat melekat pada kami yang bertanah air satu. Juga, jika kita tarik kembali pada era Kartini, betapa susahnya wanita indonesia untuk berdiri di kaki sendiri menggapai mimpi yang dia ingin raih? Betapa susahnya wanita untuk meraih gelar sarjana pada masanya. Wanita pada era Kartini tidak mendapatkan akses untuk belajar, dan wanita bahkan tidak bisa berpendidikan. Hidup hanya untuk melayani sang suami yang akan menjemputnya nanti di rumah. Bak binatang yang akan di perjual belikan tanpa daya untuk memberontak pula memperkaya dirinya dengan warisan ilmu, budaya, juga nilai yang besar sebagai wanita mandiri.

Meskipun telah digaungkan oleh Kartini dan diikuti gerakan-gerakan wanita modern, nyatanya hingga detik ini praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum Perempuan masih di posissikan sebagai bagian dari laki-laki, di marginalkan, hingga diskriminasi. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan Perempuan dan mengganggu hak-hak Perempuan.

Dafiena Hardianti juga berkata bahwa budaya patriarki juga menempatkan perempuan berada dalam posisi "the second sex" atau yang sering disebut sebagai "warga kelas dua" yang keberadaannya kurang diperhitungkan. Dengan adanya budaya patriarki yang kuat telah memposisikan perempuan pada posisi yang lemah sehingga retan terjadinya tindakan kekerasan seperti halnya kekerasan seksual. Budaya ini juga memberikan kontruksi dan pola pikir bahwa laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas sehingga femininitas itu sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah.

Sungguh wanita juga manusia, memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Hanya Saja patriarki masih sangat di junjung tinggi pada masyarakat Indonesia. Wanita sering kali di panding sabelah mata hanya arena tidak memiliki kapasitas untuk menjadi lebih mandiri, memimpin dan berpendidikan layaknya seseorang yang ingin mencapai tujuan hidupnya. Berekspresi secara bebas menyalurkan ide-ide cemerlangnya dan berkembang membangun bangsa dan negara. Hal ini masih saja tabu dan di hiraukan bahkan pada kalangan korporat. Wanita sulit untuk memimpin apalagi memiliki jabatan tinggi bila saja patriarki di perusahaan tersebuh masihlah kental dan birokrasi bersuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun