Mengkaji manusia dan segala tingkah lakunya memang amat menarik. Mengapa anak harus hormat kepada orang tua, mengapa pencuri harus ngembat harta orang, mengapa koruptor harus menilep uang bersama, mengapa santri harus patuh pada kyai, mengapa pejabat harus tunduk pada atasan, mengapa hakim selalu memberi keringanan dakwaan, mengapa penjual selalu menyebunyikan cacatnya barang dagangan, mengapa komentator bola selalu mengkritik kesebelasan yang kalah. Entahlah, semuanya bagaikan peneliti yang kerjanya hanya mengamati, sekaligus berfungsi ganda sebagai juri yang selalu mengevaluasi hasil yang dirasa belum sempurna. Apakah sikap seperti ini memang sudah menjadi watak manusia? Entahlah. Sudah saatnyalah menjadikan diri kita sendiri sebagai obyek, jangan melulu sebagai subyek yang memandang orang dengan kacamata yang kita miliki. Tiap orang tentu berbeda hasil pengamatannya, sebab kacamata mereka berbeda. Tiap orang tak mungkin berparadigma sama dalam sejumlah fenomena keseharian yang ada. Dalam kasus kemacetan jalan misalnya, semua pengendara mengeluh dan marah. Ada yang menduga polantasnya tidak becus, ada yang menduga jalannnya pasti berlubang atau rusak, ada yang menduga lampu traffic sedang rusak, ada yang menduga pasti ada truk lagi mogok, ada yang menduga ada kecelakaan, padahal yang terjadi sebenarnya jalan diblokir karena ada demonstrasi penuntasan kasus lumpur Lapindo. Orang yang tidak tahu apa yang terjadi, bisa saja berpikir dan bertindak atas hasil analisa praduga mereka. Tak tahu apa yang terjadi, pokoknya harus ada obyek yang disalahkan atas kemacetan lalu lintas. Memang amat susah -malah hampir bisa dikatakan mustahil- kita memandang semua hal secara obyektif. Sebab manusia memiliki aura yang amat pekat, yang disebut ego. Ego inilah yang mengendalikan seluruh sistem yang ada dalam diri. Dalam otak dan hati yang akhirnya mengendalikan jasmani dalam tindakan. Cobalah kita memposisikan diri sebagai terdakwa, bukan melulu sebagai hakim, cobalah berdagang asongan, bukan menjadi sang pembeli yang memegang segepok uang, cobalah menjadi tukang sampah, bukan malahan tiap hari membuang kotoran, cobalah bermain sepakbola, dan dengarkan semua ocehan komentator seperti yang kita lakukan setelah pertandingan. Sungguh haq ayat Allah: kaburo maqtan ‘indallah an taqulu ma la taf’alun. @gambar diambil dari http://maitadhanubrata.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H