Pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum staf di JIS memang sungguh menguras emosi kita. Sesaat setelah menyimak berita tersebut, masyarakat pun langsung prihatin, sedih, marah dan bahkan mengutuk oknum-oknum antagonis dalam berita yang disajikan.
Sialnya, kebanyakan media tidak membantu masyarakat untuk menelaah secara obyektif dan kritis mengenai berita-berita aktual yang terus berkembang dari kasus pelecehan seksual ini. Masyarakat pun akhirnya diajak untuk menikmati berita mentah yang menggiring mereka pada "emotion roller coaster" tanpa obyektivitas, yang penting seru, mengaduk-aduk perasaan dan berkelanjutan. Hasilnya, seolah-olah kasus ini berkembang ke arah yang menyenangkan bagi "pembuat berita" dan alhasil masyarakat pun hanya memiliki satu kaca mata yang sama, "terarah" dan monoton. Parahnya, pihak2 yang terkait pun mengambil tindakan dan kebijakan seperti latah menanggapi apa yang sedang hot oleh media dan justru mengesampingkan masalah yang sebenarnya, sehingga kelanjutan kasus ini pun menjadi bias untuk tujuan oknum-oknum yang memboncengi kepentingannya dalam kelanjutan kasus ini. Ironis!
Tanpa bermaksud membela JIS yang memang sudah nyata-nyata salah, penulis ingin memberikan sudut pandang berbeda untuk melihat kasus ini, sebab penulis merasa penyelesaian kasus ini sudah menyimpang dari jalan yang seharusnya akibat digelendoti kepentingan-kepentingan yang tidak bertanggung jawab.
Kasus pelecehan seksual di JIS ini diekspos habis-habisan hingga cenderung terkesan sebagai pembunuhan karakter terhadap JIS khususnya, dan sekolah internasional pada umumnya. Sialnya, pemberitaan ini berakibat adanya generalisasi stereotype buruk akan eksistensi sekolah internasional di Indonesia, tidak hanya oleh masyarakat yang mengikuti berita ini, tapi lebih parah lagi justru oleh pemerintah sebagai pengambil keputusan yang seharusnya lebih bijak dan netral dalam penyelesaian kasus ini, bukannya justru mengambil kesempatan dengan mengambil kebijakan yang dianggap populer demi tampil di publik dengan predikat “pihak yang tanggap” yang sebenarnya adalah justru pahlawan kesiangan yang oportunis. Mengutip lenong betawi, “Kemane aje pak?”
Berikut adalah para pahlawan kesiangan yang oportunis tampil di tengah panasnya pemberitaan kasus terkait yang justru berimbas kepada pembiasan kelanjutan penyelesaian kasus tersebut.
- Ditjen Imigrasi yang mendadak menyerbu JIS untuk melakukan pendataan bahkan penindakan deportasi kepada para guru dan karyawan JIS yang ijin kerjanya dianggap sudah kadaluarsa ataupun bermasalah. “Kemane aje pak?”
- Ditjen PAUDNI, secara khusus, yang mempermasalahkan ijin sekolah JIS. Entah ini apakah ini sebenarnya adalah selubung cantik untuk menutupi kekurangan mereka atau malah inilah pengakuan mereka yang secara jujur mengakui kekurangannya, yang jelas Ditjen PAUDNI justru dengan bangga mengumumkan bahwa JIS tidak memiliki ijin penyelenggaraan sekolah, padahal sudah seharusnya Ditjen melakukan pemantauan, pengawasan, dan pendataan pada semua satuan pendidikan usia dini yang ada di Indonesia. Penulis menilai alangkah lebih bijak jika Ditjen menjemput bola dengan melakukan pendataan dan pendaftaran seluruh sekolah usia dini di Indonesia ketimbang menonjolkan arogansi yang malah menyalahkan sekolah-sekolah yang belum terdaftar, karena penulis yakin banyak sekolah-sekolah di luar sana yang bernasib sama seperti JIS, belum terdaftar, apapun alasannya. Dieksposnya isu ini membuka mata masyarakat akan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap institusi-institusi di Negara sendiri dan justru semakin lebar membuka borok pemerintah kepada masyarakat luas. “Kemane aje pak?”
[caption id="attachment_304486" align="aligncenter" width="300" caption="Ini baru di Kalsel, se-Indonesia berapa ya?"][/caption]
[caption id="attachment_304484" align="aligncenter" width="300" caption="... dimana PAUDNI?"]
13983530911588932893 - Kepolisian yang ikut-ikutan melakukan pembunuhan karakter terhadap JIS dengan membuka secara publik informasi dan investigasi kasus yang masih berjalan (sungguh kasihan korban yang notabene masih anak kecil), hal ini diperparah dengan dukungan pemberitaan kebanyakan media yang mungkin hanya mengutip press release kepolisian dan tidak mau riset lebih jauh, bahwa ternyata di luar sana banyak kasus-kasus sejenis di sekolah-sekolah lain yang secara popularitas kalah jauh dan tidak cukup seksi untuk diberitakan. Imbasnya, pemerintah pun hanya mengambil tindakan untuk kasus pada sekolah populer saja, sementara nasib korban-korban di sekolah yang tidak populer pun harus berjuang sendirian tanpa dukungan dan keprihatinan masyarakat. (Lihat sejumlah contoh kekerasan seksual terhadap anak yang merebak di tahun 2013-2014, menurut Tempo)
[caption id="attachment_304492" align="aligncenter" width="300" caption="... dan apakah kemudian Al Azhar akan ditutup dan semua sekolah swasta akan ditinjau kembali.. atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI masih tebang pilih dan menikmati sorotan lampu panggung yang hot ??? . . ."]
1398353482204535194[caption id="attachment_304491" align="aligncenter" width="300" caption="Hanya di sebuah kota yang kurang populer, Buleleng"]
1398353442166185624[caption id="attachment_304488" align="aligncenter" width="300" caption="Ironi serambi mekah"]
1398353290294208561 - Selain itu pemberitaan dan investigasi kepolisian pun, entah kenapa, melulu dan mendalam untuk sekolah JIS, mulai dari staff, guru, alumni, eks- guru, bahkan bangunan dan dokumen-dokumennya, sementara sedikit sekali pemberitaan dan investigasi terhadap ISS selaku penyedia tenaga kerja layanan pembersih yang telah dinyatakan tersangka oleh kepolisian. Padahal, seharusnya kasus ini bisa melibatkan (lebih jauh lagi) kementerian-kementerian yang lain, termasuk di antaranya Kemenakertans. “Kemane aje pak?”
- Kemdikbud yang tiba-tiba reaktif dan fokus untuk siap “memangkas” dan mengawasi gerak-gerik semua sekolah internasional di Indonesia. Padahal, sekolah-sekolah internasional yang ada di Indonesia banyak pula yang merupakan sumbangsih dari Kemlu dalam rangka memfasilitasi masyarakat ekspatriat yang sedang berinvestasi di Indonesia dengan membawa serta keluarga mereka. Ditambah lagi, sebelum adanya isu ini, sekolah-sekolah internasional ataupun sekolah-sekolah swasta yang berkembang dengan baik pasca orde baru telah dianggap menjadi faktor pembeda yang selama ini mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia, karena, tidak boleh naïf, pemerintah dan masyarakat butuh pembeda untuk menghindari adanya “monopoli pendidikan” yang kerap dilakukan Kemdikbud semena-mena dengan segala keterbatasannya. Sayangnya, ketika isu kelam mencuat merusak label sekolah internasional, Kemdikbud pun buru-buru menghabisi mereka tanpa melihat sumbangsih positif yang telah mereka berikan pada pendidikan di Indonesia, pokoknya reaktif! “Kemane aje, pak?”
Kalau sudah begini, apa kita masih akan mencari siapa yang salah? Ataukah lebih baik berusaha memperbaiki semua kekurangan di tengah system yang bobrok ini? Ataukah kita masih akan masa bodoh dan cenderung reaktif hanya jika terdampak isu-isu panas tak ubahnya pahlawan-pahlawan kesiangan di atas?
Buka mata, perkaya sudut pandang, kritisi kenyataan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H