Hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 diselenggarakan chair competition Pondok Indah Mall 3 diikuti oleh desainer muda kelas profesional dan kelas mahasiswa.
Hasil desain para desainer muda yang masih mahasiswa ternyata sangat kreatif. Di ruang terbuka mal yang bundar, di antara karya-karya kursinya itu, mereka harus menjawab pertanyaan para juri mengenai konsep estetis dari gagasan sampai pelaksanaan kerjanya.
Berikut ini saya menyorot tentang pameran yang disertai dengan "ujian" yang dilakukan oleh para juri yang menentukan karya-karya itu dimenangkan dengan kejuaran I,II, III. Yang saya komentari di sini secara khusus adalah "kritik-kritik" juri kepada para desainer muda tersebut, disaksikan oleh semua pengunjung yang lewat di mal itu, lantas menonton di kursi-kursi yang tersedia untuk umum.
Saya tertarik untuk mengomentari pikiran-pikiran para juri yang dicelotehkan dari awal sampai akhir, karena saya lihat hal-hal bukan saja janggal tetapi juga rancu oleh logika-logika antara pengetahuan elementer desain di satu pihak, dan wawasan tentang konteks estetikanya di lain pihak. Dan cara para juri menilai setiap desain, caranya sama seperti guru Inpres terhadap murid-murid SD Inpres, yaitu model mengkader, membentuk, pendeknya mengalirkan frustrasi individual menjadi sesuatu yang harus dibenarkan secara statistik. Cara ini saya anggap selain tidak cendekia juga congkak, songong, sok tau. Demikian yang terlihat terbuka dalam tanya-jawab antara juri dan peserta yang disaksikan oleh semua pengunjung yang menonton di mal itu.
Juri yang paling kacau adalah yang paling tua. Ia selalu mengomentari dengan memakai pegangan tentang desain yang barangkali dibacanya dari teks Inggris sebab selalu dengan hafalan bahasa Inggris dan yang dianggapnya benar atau sahih. Saya melihat orang tua ini tidak benar-benar menguasai estetika dalam desain yang dengan sendirinya terkait dengan pengetahuan kesenirupaan. (Ingat, sebuah konsep arsitektur menyangkut interior di mana di situ ada kursi, pada hakekatnya adalah seni rupa. Makanya, jangan lupa jurusan seni rupa ITB awalnya adalah bagian dari fakultas arsitektur).
Bayangkan saja betapa rancu dan paradoknya dia mendeskripsi tentang desain di konteks sekarang, artinya secara praktis dia menempatkan desain tersebut sebagi kepandaian-kepandaian dari visi estetis di luar kepandaian-kepandaian dari sisi teknis zaman yang berubah, tapi dengan kungkungan hafal kalimat-kalimat kutipan bahasa Inggris tersebut tentang kursi yang sebetulnya malah menempatkan pikirannya sebagai jongos atas konvensi yang sudah kadaluwarsa dan menjadi tawanan di situ.
Sebab, kalau sungguh-sungguh sejati mengacu desain sebagai greget masa sesuai dengan wacana kontemporer atau bahkan posmodern, maka seharusnya dia membuka diri terhadap perbedaan visi yang niscaya lahir dari kalangan muda sebagai proeres kultural yang justru digagas dari reaksi terhadap konvensi-konvensi lama yang sudah mapan, sementara zaman berubah, bergerak, bergeser, maju meninggalkan konvensi-konvensi tua. Cara juri tua ini mencacat-cacat desain orang muda, malah menunjukkan dirinya yang tidak terbuka, kolot, kuno, mapan, dan lebih jauh, maaf, harus saya katakan bodoh, pandir, sepenuhnya tidak menggambarkan sifat-sifat kebapakan, padahal konon dia doktor.
Juri yang lain, seperti misalkan itu yang rambutnya tercukur khas gaya anak muda jaman sekarang walau umurnya sudah tak semuda peserta mahasiswa, malah selain rancu dan juga paradoks dalam mengacu logika-logika keindahan desain, juga mengira dirinya sedang mendosen di depan umum yang menonton di mal itu, dan mengira pula seakan-akan penonton yang menontonnya berceloteh adalah awam-awam yang bodoh. Saya heran, terhadap dua desainer yang menyatakan bahwa ilham tercerabut dari pola budaya daerah, yaitu Madura untuk "karapan sapi", dan Cirebon untuk batik "mega mendung"; disalahkannya dengan cara negatif.
Akhirnya dia, dan juri-juri lain yang saya tidak tahu nama-namanya, dan rasanya tidak perlu mengetahui nama-nama mereka, yang tidak sanggup berpikir cendekia tapi hanya kelas pertukangan yang sedikit-sedikit bahasa Indonesianya diselang-seling dengan kata dan kalimat-kalimat bahasa Inggris, memang tidak bisa diandalkan untuk kemajuan desain Indonesia di mata dunia. Apalagi ketika kita bicara desain dari sudut ekonomi kreatif. Bahwa tempat yang ideal bagi desain adalah pasar. Jangan sampai juri-juri keliru berpikir, bahwa yang mereka nistakan dengan mulut yang disaksikan khalayak di mal, ternyata laku di jual di pasar.
Saya melihat sejumlah desain yang justru tidak dimenangkan dan bahkan dicacat-cacat oleh juri-juri tersebut, adalah kursi-kursi eksklusif yang cantik-cantik, berdaya jual bagus di pasar. Maksud saya, jangan sampai juri-juri yang sok tau itu kecele, bahwa yang dicacatinya itu justru merupakan kebutuhan yang patut di taruh di sebuah rumah. Untuk itu pula saya ingin menutup komentar saya ini dengan mengingatkan, bahwa kursi memang fungsinya adalah tempat duduk, tetapi dimulai dari zaman Baroque-Rococo, kursi adalah juga hiasan yang diletakkan dalam sebuah konsep bangunan indah sebagai pelengkap keindahan yang mengindahkan ruang.
Dan, supaya harus diingat-ingat betul, bahwa keindahan yang sebenarnya dalam berpikir individual, adalah selalu dekat dengan faktor-faktor subjektif, sementara isyarat-isyarat objektif adalah sesuatu yang dibangun dalam teori, wacana, diskursus.