Sejak serangan teroris pada 9/11 yang menewaskan sekitar 3000 jiwa di Amerika Serikat pada 11 september 2001, islam menjadi sorotan dunia. Kala itu 19 teroris yang diduga merupakan anggota Al-Qaedah membajak empat pesawat komersil yang lalu berturut-turut ditabrakkan ke gedung kembar WTC, New York, gedung pertahanan, Pentagon di Arlington, Virginia, dan pesawat terakhir jatuh di pensylvania.
Di Indonesia, kejadian ini diikuti dengan tragedi bom bali setahun kemudian pada 12 oktober 2002 yang mengakibatkan 202 orang tewas pada hari itu. Hal ini kian memperburuk citra Islam karena organisasi yang mengaku bertanggung jawab dari aksi-aksi tersebut tidak lain adalah Al-Qaedah dan Jama’ah Islamiyah.
Beberapa hari lalu, juga terjadi aksi terorisme di Kampung Melayu, Jakarta timur.Seperti yang lansir detik.com(26/5), tragedi yang terjadi pada hari rabu, 24 mei 2017 ini menewaskan tiga orang anggota polisi.
Jika kita melihat dengan seksama ada perbedaan besar pada aksi-aksi terorisme yang dilakukan pada rentang waktu antara tahun 2000 hingga 2009 dan aksi terorisme pada rentang tahun 2010 hingga sekarang.Pada periode 2010 hingga sekarang aksi terorisme yang dilancarkan memiliki orientasi yang berbeda dari periode sebelumnya, baik dari pelaku maupun sasaran teror.
Seperti hasil analis Muhammad Subhan dalam “Pergeseran Orientasi Gerakan Terorisme Islam di Indonesia(Studi Terorisme Tahun 2000-2015)” yang dilansir dalam Journal of International Relation ,menyebutkan bahwa perubahan paling fundamental adalah mulai merebaknya aksi terorisme individu atau yang lebih dikenal sebagai lone wolf terrorism..
Istilah ini dirumuskan oleh Ramon Spaij, yang juga menjabarkan ciri-ciri lone wolf terrorism sebagai berikut;
- Dilakukan oleh individu
- Bukan bagian dari kelompok atau jaringan teroris
- Modus operan dipahami dan diatur oleh individu tanpa adanya komando.
Selain itu, juga terjadi pergeseran target teror yang dulunya menyasar simbol-simbol barat di Indonesia, namun akhir-akhir ini serangan teror justru terjadi pada warga sipil dan aparat pemerintah baik itu anggota kepolisian maupun TNI.
Menurut Subhan, hal ini terjadi karena pemerintah sudah mengeksekusi banyak dari petinggi organisasi terorisme di Indonesia sehingga banyak dari mereka yang kehilangan sosok dan pegangan.
Dilansir dalam Tirto.id dalam satu kesempatan mantan kepala BNPT Ansyaad Mbai turut memperingatkan bahaya serangan teror tunggal atau lone wolfterhadap keamanan nasional, karena menurutnya para pelaku teror tunggal memiliki modus dan metode perekrutan berbeda dibandingkan pola-pola yang selama ini ada.
Mbai mengungkapkan, para pelaksana teror tunggal bisa mengalami proses radikalisasi akibat propaganda kelompok radikal melalui media sosial.
“untuk menjadi radikal, mereka tidak perlu bertemu seseorang atau kelompok, serta tidak perlu datang ke suatu tempat untuk berbaiat, tapi cukup melalui gadget, mereka bisa teradikalisasi,” paparnya.