Bismillah...
[caption caption="dok.pri | Ini kang Zakry, orangnya baik dan ramah sekali. Selain berladang, pekerjaannya setiap hari libur adalah menjadi guide bagi para wisatawan yang berkunjung ke perkampungan Baduy."][/caption]Suatu hari yang cerah, aku ditelpon seorang teman lama, namanya Noey (bukan nama asli-red). Kami sudah hampir 10 tahun tidak bertemu sejak kelulusan kami dari suatu perguruan tinggi negeri di pinggir Selatan Jakarta. Kami mulai bernostalgia dan bercerita berbagai hal mengenai kehidupan kami masing-masing setelah lulus kuliah. Selama ini kami hanya bertemu via suara saja.
Akhirnya Noey pun mengajak aku untuk kopi darat, alias bertemu muka. Dan dia mengundangku untuk ke rumahnya yang terletak di Pondok Cabe. Di rumahnya saya melihat banyak sekali foto-foto dia bersama beberapa orang yang berpenampilan sangat klasik dan tradisional juga terdapat kain-kain khas tradisional beberapa daerah. Dan mata saya pun tertuju pada beberapa motif yang sangat khas dengan warna-warna yang cerah. Lalu aku bertanya pada Noey darimana kain itu berasal.Â
Noey bilang dia dapat itu dari Baduy, karena dia seringkali bepergian kesana. Dengan antusias kemudian dia menceritakan tentang ihwal bagaimana dia tertarik dengan kehidupan salah satu suku yang cukup terkenal di daerah Banten sana. Setelah bercerita banyak tentang suku Baduy, dia kemudian mengajakku untuk menemaninya pergi ke Baduy, untuk mengadakan bakti sosial bersama sebuah sekolah kejuruan tempat dia mengabdi.
Sebenarnya aku sudah punya rencana untuk pergi ke Baduy bersama kawan-kawan pecinta alam yang digawangi sebuah event organizer yang bernama BELANTARA. Noey mengajakku pergi kesana tepat dua minggu sebelum aku pergi bersama kawan-kawan Belantara.
Tiba saatnya keberangkatan menuju Baduy. Dari rumah aku sudah mempersiapkan segala macam perlengkapan, seperti tas carrier, sleeping bag, jaket, jas hujan, dan beberapa perlengkapan pribadi lainnya. Tak lupa juga membawa sedikit oleh-oleh untuk tuan rumah di Baduy sana.
Aku dan Noey sepakat untuk kami bertemu di stasiun kereta pukul 8 pagi, karena kereta berangkat pukul 8.30. Sesampainya di stasiun kereta, aku mencari-cari Noey. Setelah lama menunggu, Noey belum datang juga, lalu aku menghubunginya dan menanyakan apakah dia sudah sampai di stasiun atau belum. Â Rupanya Noey singgah dulu di pasar untuk membeli beras, sayuran dan lauk pauk untuk bekal kami selama di sana.
Perjalanan kami diwarnai gelak tawa dan canda. Kami saling berbagi cerita tentang nostalgia masa lalu. Tanpa terasa dua jam sudah kami berada di kereta api sampai akhirnya tibalah kami di Stasiun Rangkas Bitung. Dari stasiun kami bergegas menuju ke desa Ciboleger dengan menggunakan angkutan kota.
Sesampainya di Ciboleger, kami pun beristirahat sejenak sekedar melepas penat setelah dua jam lamanya di dalam kendaraan. Setelah itu kami pun kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju desa Kanekes yang menjadi tujuan utama kami dengan ditemani oleh Mulyono, penduduk asli Baduy Luar, yang juga merupakan murid pertama Noey.
Usut punya usut, rupanya Noey lah orang yang pertama kali mengajarkan anak-anak suku Baduy belajar menulis dan membaca. Dia mengajar mereka menulis dan membaca sejak tahun 2007. Pada awalnya hanya satu anak saja yang berani untuk belajar menulis dan membaca, karena peraturan di suku Baduy adalah untuk menghormati leluhur dan menjalankan segala perintah, tata cara dan adat istiadat warga suku Baduy.
[caption caption="Pintu masuk perbatasan antara desa Ciboleger dan Perkampungan Baduy Luar, dokumen pribadi"]