“Sepertinya kita harus lebih siaga dan waspada lagi hari-hari kedepan pandeka,” suara berat penuh wibawa Datuk Perpatih seolah tenggelam oleh derik binatang malam.
Di tengah balairung itu duduk bersila Datuk Perpatih, di depannya dua orang hulubalang menyimak dengan seksama semua penuturan sang datuk. Pandeka Kuniang Batuah dan Sutan Marajo adalah dua orang kepercayaannya. Datuk Perpatih Nan Sabatang, itulah gelar yang disematkan padanya, ia adalah pemimpin bijaksana dari ranah Andalas ini. Namun sekarang ia menjadi was-was semenjak negerinya didatangi orang-orang dari tanah Jawa. Datuk Perpatih harus memutar otak untuk menghadapi ancaman dari orang-orang Majapahit.
Apabila melawan dengan kekuatan perang pastilah mereka akan kalah telak. Bagaimana mungkin melawan pasukan Sang Mahapatih Gajah Mada yang masyhur itu. Negerinya hanyalah negeri kecil di tanah Andalas ini. Sedangkan Majapahit siapa yang tidak mengenal Sri Maharajasa dan Mahapatih Gajah Madanya, sampai ke tanah Malaka dan Siam mereka ditakuti, kekuasaan mereka meliputi hampir seluruh pulau Sumatra, Dharmasraya telah mereka kuasai, sampai ke Seram dan Maluku, bahkan mereka dapat dengan mudahnya menaklukan Papua. Mungkin hanya orang Mongollah yang dapat menandingi kekuatan tentara Majapahit, itu pun jikalau Khubilai Khan masih ada.
“Sejak kekalahan orang Majapahit dalam pertandingan adu kerbau waktu itu, aku mulai merasakan gelagat yang sangat tidak mengenakkan,” Datuk menyambung lagi.
Majapahit telah menelan kekalahan sebelumnya akibat terlalu meremehkan negeri Datuk Perpatih. Mereka datang dengan kekuatan armada empat kapal perang lengkap dengan prajurit-prajurit pilihan dan persiapan perang, bersandar di pesisir barat Andalas. Walaupun hanya dengan empat buah kapal perang saja, pasukan Majapahit yakin sudah bisa menundukan negeri Sang Datuk. Datuk paham akan hal itu, maka dicarinya siasat untuk menghindari pertumpahan darah.
Diajaknya punggawa Majapahit untuk bertanding mengadu kerbau. Apabila Majapahit menang, maka Datuk akan tunduk kepada kerajaan Majapahit dan siap memberi upeti. Tapi jika mereka menang, maka pasukan Majapahit harus angkat kaki dari negerinya. Jelas Majapahit menerima tantangan itu, menurut mereka mengadu kerbau adalah tradisi mereka, pastilah mereka akan memenangkan pertandingan ini dengan mudahnya.
Maka dicarilah kerbau terbaik ditanah Jawa. Dibawalah kerbau pilihan itu ke Andalas, bobotnya begitu besar sehingga untuk menarik tiga buah pedati sekaligus pun pastilah kerbau itu mampu melakukannya. Datuk mencari siasat bagaimana cara mengalahkan kerbau orang-orang Jawa itu. Tak mungkin mencari lawan tanding yang sepadan dengan kerbau Majapahit, maka dicarilah anak kerbau yang baru saja lahir dan belum lepas menyusu dari induknya. Disepasang tanduk yang belum tumbuh sempurna itu disematkan dua bilah belati sebagai pengganti tanduknya. Dan hari yang ditentukan tiba, para punggawa dan prajurit Majapahit tertawa terkekeh sampai mengeluarkan air mata melihat lawan tanding kerbau mereka.
“Apa kau sudah tidak waras wahai Datuk,” cemooh Lembu Kilingan, pimpinan pasukan Majapahit.
“Mana mungkin anak kerbau itu melawan kerbau kami yang tak terkalahkan ini.”
“Biarlah, apapun yang terjadi nanti aku pasti tetap akan menepati janjiku pada kalian,” sahut Datuk Perpatih penuh wibawa.
“Baiklah, jangan kau menyesal kemudian hari karena ini pasti akan diingat anak cucumu kelak,” semakin bersemangat Lembu Kilingan melecehkan Datuk.
Berhadap-hadapanlah kedua kerbau yang sangat jauh perbedaan ukuran tubuhnya itu, lantas dilepaskanlah keduanya. Anehnya kerbau besar milik orang tanah Jawa tidak melakukan apa-apa, sedangkan anak kerbau orang Andalas berlari kencang menyeruduk kebawah perut kerbau besar tadi. Anak kerbau itu sengaja tidak diberi susu beberapa waktu lamanya dan pastilah kehausan, dengan begitu ia menganggap kerbau Majapahit itu adalah induknya.
Diseruduknya perut kerbau besar mencari-cari susu dan tertancaplah belati tajam ditanduknya itu keperut kerbau Majapahit, semakin ia menyeruduk, semakin besarlah lubang yang menganga diperut kerbau Jawa tadi. Hingga ususnya terburai dan akhirnya terkapar kelelahan kehabisan darah.
Orang Majapahit kalah, mereka pulang kembali ke Jawadwipa. Tapi Datuk Perpatih yakin mereka akan kembali lagi untuk menutupi malunya.