Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK vs Polri: Mari Bermain Teka-teki dengan Logika dan Nalar

25 Januari 2015   22:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Permainan tingkat elit antara kasus KPK vs Polri ini sebenarnya sangat jelas terbaca jika kita mau sedikit saja membuka logika dan nalar kita. Tinggal terpulang kepada kita bagaimana mau mencoba berpikir logis apa yang terjadi saat ini tidaklahberdiri sendiri.

Kalau saya berpikiran, semua kejadian akhir-akhir ini semua saling berkaitan tidak berdiri sendiri. Saya seide dan sepikiran dengan Direktur Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi, konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri tidak terjadi begitu saja. Tanpa disadari, menurut Fahmi, konflik dua lembaga penegak hukum itu masuk dalam giringan operasi intelejen sistematis dari 'sekelompok elit'. Mereka sedang menguji ketahanan pemerintahan Jokowi-JK. (baca disini)

Berbagai isu bermunculan dan tinggal kita sendiri yang merangkai menjadi satu kesatuan, dan blaaar..semua terjawab meski itu sulit untuk dibuktikan karena yang bermain pastilah akan membantah. Maka, marilah kita rangkai satu persatu apa yang terjadi sebelum kita menjustifikasi bahwa KPK itu selalu benar dan polisi itu selalu salah.

Rangkaian pertama adalah rencana pergantian pucuk pimpinan kepolisian. Berbagai nama masuk ke dalam daftar calon-calon Kapolri. Di situ ada Bambang Gunawan, mantan ajudan Megawati ketika menjabat Presiden. Ada juga nama Wakapolri Badrodin Haiti, kemudian Irwasum Komjen Pol Dwi Priyatno, Kabaharkam Komjen Pol Putut Bayu Seno dan Kabareskrim Komjen Pol Suhardi Aliyus. Mereka diajukan oleh Kompolnas sebagai pertimbangan Presiden.

Di sini timbul pertanyaan, kenapa Sutarman yang masih pensiun sekitar 10 bulan lagi dicopot? Banyak spekulasi dari pengamat berseliweran, salah satunya adalah Sutarman terlalu kental bernuansa SBY. Apalagi Sutarman dianggap pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana tidak sigap mengusut kasus Obor Rakyat yang digagas oleh orang-orang lingkungan istana zaman SBY. (baca disini)

Lalu, Presiden mengusulkan satu nama untuk dilakukan uji kelayakan oleh parlemen, dalam hal ini Komisi III DPR RI. Tanggal 9 Januari 2015 Presiden mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Sampai di sini, semua berjalan seperti biasa saja. Pro dan kontra itu hal wajar. Gerbong koalisi merah putih seperti biasa mengkritisi pilihan Jokowi tersebut. Track record Budi dipertanyakan.

Logika saya menjawab, wajar saja Jokowi menetapkan Budi sebagai Kapolri, mengingat pemerintah membutuhkan dukungan PDI P dan kawan-kawan. Megawati sebagai lokomotif tentu perlu diambil hati dengan meletakkan mantan ajudannya menjadi Kapolri. Selain itu, Jokowi pasti punya perhitungan matang bagaimana agar pemerintahannya berjalan aman. Toh menjadikan Budi sebagai Kapolri paling banter Cuma 2 tahun. Dunia tidak akan kiamat jika Budi menjadi Kapolri. Yang penting pemerintahaan aman dan berjalan lancar.

Sampailah saat-saat yang mendebarkan itu. Ketika keesokan hari Budi Gunawan akan ditest di DPR tiba-tiba KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka. Semua orang terhenyak, ada apa ini? Bagaimana mungkin KPK berani menampar muka Presiden? Saya berpikir, jelas ini politisasi. Kenapa sekarang? Bukankah ini kasus lama dari tahun ke tahun dimainkan sebagai truf dalam momen pergantian pucuk pimpinan Polisi. Dan satu pertanyaan lagi, kenapa hanya Budi Gunawan? Bukankah yang terindikasi rekening gendut bukan hanya Budi. Ada apa dengan KPK?

Lalu tiba-tiba Kabareskrim Suhardi Alius dicopot pada Jumat (16/1/2015). Jadi pertanyaan lagi kenapa dia dicopot? Suhardi menyebut bahwa dia di fitnah. Lalu, banyak rumor beredar menyebut Suhardi lah yang menyetor data Budi Gunawan ke KPK. Banyak spekulasi mengatakan bahwa tuduhan Budi Waseso, Kabareskrim baru tentang pengkhianat di Polri itu adalah Suhardi. (baca disini)

Sampai di sini situasi poltik sangat panas. Lalu tiba-tiba SBY melalui akun FB nya pada tanggal (19/1/2015) menyebut ada isu pembersihan orang-orang dia di lingkar kekuasaan. Meski dia mengaku tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kemudian Jokowi menjawab statemen SBY melalui akun FB juga yang intinya membantah hal tersebut. (baca disini)

Kemudian terjadilah hal yang sama-sama tidak kita inginkan, penangkapan Bambang Widjojanto. Wakil Ketua KPK ini ditangkap secara dramatis oleh Bareskrim. Sampai disini, Wakapolri Badrodin Haiti tidak mengetahui penangkapan tersebut. Tentu saja ini hal aneh. Apakah seberani itu seorang Budi Waseso ikut mempermalukan Presiden dan Polri di tengah sorotan negatif masyarakat. Apalagi katanya, Budi Waseso juga belum mengganti pejabat-pejabat lama peninggalan Suhardi Alius. Logika liar kita bermain dan bertanya di sini. (baca disini)

Dan sampailah pada saat yang ditunggu-tunggu, dukungan masyarakat berbondong datang ke KPK. Tagar save KPK bermunculan. Ditambah lagi drama tangisan Abraham Samad. Semakin menyedot perhatian publik. Lalu berbagai blunder dilakukan oleh Samad. Pertama, saat berkomunikasi dengan Presiden dan Wakapolri di Istana Bogor, Presiden sudah meminta agar semua pihak menyelesaikan dengan benar. Intinya lakukan sesuai koridor hukum dan jangan ada gesekan-gesekan. Artinya tidak perlu lagi ada provokasi dari KPK maupun Polri. Sampai di situ semua setuju.

Lalu entah mengapa pada malam harinya di KPK, dari berita yang beredar disebutkan bahwa Abraham Samad meminta perlindungan TNI melalui Panglima TNI. Untuk apa tentara ditarik-tarik dalam kasus ini? Seharusnya Samad meminta perlindungan Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI. Bukan memberi kesan mengadu antar aparat bersenjata.(baca disini)

Kemudian berturut-turutlah dukungan masyarakat datang dengan bentukan opini dari tangisan Samad. Padahal Presiden sudah meminta untuk sama-sama menahan diri. Samad sepertinya tahu betul bahwa air mata dan seolah terzholimi masih sangat laku dijual di tengah masyarakat patriliner kita.

Lantas, sepertinya Polisi juga tidak bisa menahan diri. Setelah Bambang W dilepaskan, keesokan harinya adalagi laporan tentang salah satu komisioner KPK Adnan Pandu Praja yang dituduh memalsukan akta kepemilkan saham oleh PT Desy Timber. Tentu ini saling berkaitan. Intinya kedua institusi sama-sama tidak bisa menahan diri sesuai instruksi Presiden.

Kemudian yang berkembang di mata masyarakat adalah tentang pelemahan KPK. Berbagai dukungan berbondong datang. Mereka meminta Jokowi untuk tegas memerintahkan polisi untuk mengeluarkan SP3. Bahkan banyak yang menyebut bahwa SBY jauh lebih tegas dari Jokowi karena bisa menghentikan kasus Bibit Chandra dengan perintah SP3 dari Polri. Padahal kita tahu hal itu seharusnya tidak boleh. Biarkan dibuktikan di pengadilan.

Sampai tahap ini pamor SBY kembali bersinar. Bahkan banyak orang yang menyebut enak jaman SBY. Mereka ingat bagaimana kasus Bibit Chandra yang di SP3. Memang diakui, SBY sangat lihai mengelola konflik menjadi citra. Dan itu tidak dilakukan oleh Jokowi. Seyogyanya Jokowi mau, gampang saja untuk kembali menyinari dirinya, apalagi dia baru menjabat 4 bulan sebagai presiden. Tapi, janganlah mengelola konflik KPK vs Polri untuk menaikkan citra diri.

Jika sampai Jokowi ikut memerintahkan SP3 Bambang W, ini artinya Jokowi ikut mengintervensi masalah hukum tanpa jalur meja hijau. Tentu ini mengecewakan. Presiden tidak punya hak mengintervensi hukum dengan kekuasannya. Presiden tidak boleh mengintervensi kasus yang sedang berjalan, baik itu di KPK maupun di Polri.

Jika memang KPK jantan, maka selesaikan di jalur hukum. Bukan membangun opini masyarakat seolah terzholimi. Demikian juga dengan Polri, jika jantan, biarkan KPK menyelesaikan kasus Budi Gunawan, jangan lagi saling memainkan kartu truf.

Lalu, dimana teka-tekinya? Dari rangkaian di atas, silahkan Anda menjawab sendiri. Siapa yang paling diuntungkan? Koruptor? Koruptor yang mana? Sekuat apa koruptor mampu menggerakkan oknum-oknum Polisi dan KPK di saat genting ini? Seperti disebut oleh Direktur Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi, ini adalah operasi inteligen sistematis dari elit-elit negeri ini. Siapa elitnya? Elit lingkar Jokowi? Elit Rezim lama? Silahkan bermain logika, analisis dan imajinasi. Berimajinasi di negeri ini tidak akan dikriminalkan koq.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun