Pekan lalu saya ngobrol dengan teman kantor, saya bilang begini. “di Sekitar kita banyak kok orang-orang yang punya gagasan, cerdas, tapi kebanyakan ceramah saat ngumpul di ruang-ruang ngobrol. Ya... Gagasannya lewat setelah ngobrol”. Sehari setelah itu, saya ngoceh lagi sama teman. “ada beberapa orang yang aktif nulis dan menaruh gagasannya lewat tulisan, tapi mereka kok pelit amat ya. Bahasanya berat-berat”.
Maaf nadanya mungkin sedikit menghakimi, Saya hanya membuka sedikit ruang mewakili pembaca, menyampaikan aspirasi kepada penulis dari deretan tulisannya agar lebih longgar dan mudah saya pahami. Oh iya, bisa saja para penulis naik pitam lalu menjawab “lah itu masalah kamu, mau ngerti atau tidak, makanya lebih cerdas lagi agar memahami bahasa tingkat tinggi”. Atau mungkin saya disuruh menyiapkan kamus bahasa dan kamus terjemahan. Maaf, sekali lagi maaf, dalam hal ini saya tidak sedang ngajak ribut gegara bahasa brat-brat-nya, yang mungkin saja memang disebabkan karena kurangnya pengetahuan saya terhadap sajian kosa kata para penulis. Saya hanya mencurahkan isi hati sebagai seorang pembaca.
Sewajarnya masyarakat kita sangat penting diedukasi, era daring seperti ini sarana untuk mengedukasi masyarakat terbuka lebar, kapan, dan di mana saja. Penulis berada pada posisi penting sebagai guru sosial untuk menaruh gagasan dan ilmunya agar bermanfaat bagi orang banyak. Urusan moral bangsa seharusnya juga digenggam oleh para penulis melalui karya-karyanya, agar ikut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Karena itu penulis jangan melupakan bahwa di antara Penulis dan Karyanya ada Pembaca, dan di antara pembaca ada kelompok yang mudah paham, ada pula tidak. Kelompok kedua inilah yang rentang mendapat perlakuan diskriminasi terhadap sajian kosa kata dari penulis, sala satunya adalah sulit memahami beberapa kata yang sebenarnya dapat disederhanakan oleh penulis. Akhirnya pembaca sulit menerima informasi dan menerjemahkan tiap gagasan yang tertulis. Sering kok saya menemukan pembaca yang mengalami hal itu. Termasuk beberapa teman, termasuk saya.
Sebagai pihak yang berdiri sendiri sudah saatnya Penulis dapat menyasar ke ruang-ruang yang lebih kecil, kelompok-kelompok pembaca yang gagal memfasilitasi diri untuk cerdas dan memahami bahasa tingkat tinggi. Oleh sebab keterbatasan. Misal tidak mampu sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti kalangan akademisi terdidik yang menjadi sasaran pembaca kebanyakan penulis pelit.
***
Oh iya, pernah saya diskusi dengan rekan kerja saya. Beberapa hari terkahir memang banyak mengarah ke tema tulisan. Dia bilang ke saya begini “mungkin saatnya pembaca harus naik panggung”. Ya mungkin maksudnya dari pembaca menjadi seorang penulis. Lha itu sudah menjadi maksud saya sejak lama. Tapi belum berani, Sama ketika saya disuruh pidato sebagai ketua panitia remaja masjid di depan jamaah. Padahal sudah membawah teks, kertasnya masih gemetar sendiri. Apalagi tanggung jawab penulis lebih berat dibanding para pembaca.
Sekali lagi tolonglah jangan pelit. Penulis saatnya menyasar ke bawah. Gadget tak lagi semewah dulu, yang hanya dimiliki klas tertentu. Dari abang becak dan tukang bakso, dari pejabat hingga petani. Setiap tulisan bisa saja menjadi target bacaannya.
Jangan buat mereka minder dan malas membaca, hanya karena penulis gensi menyederhanakan bahasa tulisnya. Pernah saya membaca di salah satu media online pernyataan seorang akademisi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati. Dia bilang begini, bahwa butuh strategi khusus dalam mengedukasi masyarakat, Salah satunya adalah literasi media, mengajari masyarakat paham, mengola informasi, gagasan, konsep dan sebagainya. Untuk mewujudkan gagasan Devie, Tentu dengan memakai metode dan alat yang mudah dipahami masyarakat. Salah satunya adalah bahasa sebagai alat komunikasi ke mereka melaui karya tulis.
Masa iya, ibarat kita ngomong atau pidato di depan publik dengan latar belakang yang berbeda kemudian bahasa yang digunakan hanya bisa di pahami oleh kelompok tertentu, akademisi misalnya. Sementara, abang becak, buruh bangunan, petani, yang turut hadir tidak ngerti bahasa kita. Ya mungkoin mereka lebih milih bubar, dari pada manggut-manggut tapi tidak mengerti.
Misal saya ambil salah tulisan teman yang kutipannya “Untuk mengcounter nalar yang terkesan mendistorsi, mengeliminasi empati maka sebagaimana relasi triadik yang saya maksudkan dalam tulisan ini, penting menghadirkan agama dan memahami serta menghadirkan dimensi teologis dan psikologis manusia sebagai modalitas dalam wabah Covid-19 ini. Covid-19 menyentak kesadaran, meruntuhkan konstruksi superioritas sains modern dengan Artificial Intellegent(AI), kemampuan rekayasa genetika, teknologi nano dan teknologi fabrikasi digitalnya yang mampu berinteraksi dengan dunia biologis”.