Semasa sekolah dasar, sekolahku terletak di desa tidak jauh dari tempat tinggalku. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah, ditempuh dengan berjalan kaki. Saat itu (tahun 1999) sebagian anak berjalan kaki ke sekolah, dan beberapa anak menempuhnya dengan bersepeda.Â
Perjalanan ke sekolah melewati sawah-sawah desa, berpapasan dengan ternak-ternak orang kampung, sapi, kuda, hingga sekumpulan itik-itik petelur berbaris rapi keluar dari kandangnya menuju hamparan sawah.Â
Di hari pasar (pasar tradisional buka hari senin dan kamis) dokar-dokar turut meramaikan jalan raya, di saat inilah ibu selalu memperingati agar saya hati-hati saat di jalan menuju sekolah "Di..., kamu hati-hati ke sekolah, minggirko kalau ada dokar",begitu kata ibu.Â
Saat pulang sekolah pada musim panen, anak-anak sekolah sebayahku mencari jangkrik di pematang-pematang sawah, atau mencari uru' taipa (mangga yang sudah matang dan jatuh ke tanah), saat itu pula ibu memarahiku, karena pulang terlambat dan seragam sekolah sangat kotor. Sebuah pengalaman yang mengajarkan kami tentang hidup dan bagaimana kami berinteraksi dengan lingkungan. Semasaku, di kampung belum ada sekolah TK atau PAUD.
Bagi siswa baru sekolah merupakan lingkungan yang sangat baru, siswa yang masih duduk di bangku kelas satu akan diantar orang tuanya ke sekolah dengan jalan kaki dan kadang harus menunggu hingga jam pulang.
Setelah tamat Sekolah Dasar, saya melanjutkan ke sekolah menengah pertama(SMP), jaraknya lebih jauh, kurang lebih lima kilo meter dari rumah, ditempuh dengan naik Pete'-pete'(sebutan untuk angkutan kota), tarif pete-pete saat itu (2006) untuk anak sekolah masih 250 rupiah/orang dari rumah. Sebagian anak menempuhnya dengan naik sepeda. tamat SMP lanjut lagi ke SMA, jaraknya lebih jauh lagi ke dalam kota.
Jenjang pendidikan masih berlanjut setelah tamat SMA (2009) saya meminta Izin ke orang tua untuk melanjutkan kuliah di Makassar, akhirnya mereka mengizinkan. Kuliah di kota Makassar tentu jaraknya cukup jauh, kurang lebih 120 km dari kampung halaman.Â
Sebenarnya saat itu sudah ada kampus yang lebih dekat, hanya melintas satu kabupaten dan bisa ditempuh kurang dari 30 menit dengan pete-pete atau mengendarai sepeda motor.
Alasan gensi sebenarnya menjadi dasar mengapa harus kuliah di Makassar. Pertama, kampus di kota Makassar dianggap lebih berkualitas dibanding kampus lokal, seperti fasilitas, banyak pilihan jurusan, tenaga pendidik, dari berbagai kampus.Â
Dua, teman-teman angkatanku, terkhusus satu kelasku melanjutkan sekolahnya di Makassar, dengan berbagai jurusuan, Ekonomi, Sosial Politik, Pertanian dan kesehatan, sedangkan saya lebih tertarik ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Sastra Indonesia.Â
Kuliah di kota besar sudah menjadi pilihan sebagian orang, apalagi di salah satu kampus ternama, tidak peduli harus membayar mahal asal berkualitas, ukuran kualitas suatu kampus bagi orang desa adalah, menilai dari alumni kampus, seberapa cepat mereka mendapatkan pekerjaan, juga kondisi dan lingkungan kampus yang diperoleh dari berbagai informasi.Â