Sulit untuk membendung persepsi publik, bahwa pengajuan hak interpelasi oleh beberapa anggota DPR, terkait kebijakan Kemenkumham untuk melakukan pengetatan pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat untuk terpidana kasus korupsi, merupakan sikap keberpihakan kepada para koruptor.
Karena kebencian publik terhadap ulah kotor dan kesombongan para koruptor sudah "sampai di ubun-ubun". Yang mereka mau para koruptor itu dihukum seberat-beratnya! jika perlu dihukum mati, dan dipasung haknya untuk mendapatkan keringanan hukuman serta hak normatif lainnya.
Oleh karena itu publik menyambut baik dan mendukung kebijakan Kementrian Hukum dan HAM seperti tersebut di atas.
Meskipun para Anggota DPR pengusul hak interpelasi terkait kebijakan Kemenkumham , Ahmad Yani dkk, menganggap langkah pemerintah itu telah melanggar Undang-undang dan HAM, Kementrian Hukum dan HAM bersikukuh bahwa kebijakannya telah sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan lainnya.
Dapat dilihat di sini, bahwa ada perbedaan persepsi antara para Anggota DPR pengusul interpelasi dengan Kemenkum dan HAM dalam memandang atau menafsirkan UU dan Peraturan Pemerintah yang mengatur issue ini.
Menanggapi hal tersebut di atas, bukankah lebih baik dan produktif jika para Anggota DPR tersebut mengajak duduk bersama Menteri Hukum dan HAM dan Wakilnya, serta dengan kepala jernih dan nurani yang bersih, menelaah kebijakan pengetatan pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat untuk para koruptor, dari berbagai segi dan sudut pandang, untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. Serta mencari formula yang pas agar kebijakan tersebut dapat diterapkan tanpa melanggar UU, Peraturan Pemerintah dan HAM. Bahkan jika untuk terlaksananya kebijakan ini perlu melakukan revisi UU, mengapa tidak?
Namun yang patut disayangkan, sejak dikeluarkannya kebijakan pengetatan remisi dan bebas bersarat untuk terpidana kasus korupsi ini dikeluarkan, para Anggota DPR, terutama Anggota Komisi III, lebih memilih untuk melakukan "pendekatan konfrontatif" dengan pihak Kementrian Hukum dan HAM, baik dalam forum resmi Rapat Dengar Pendapat maupun di media massa.
Puncaknya, usulan dilakukannya hak interpelasi oleh beberapa "Anggota Dewan Pembela Rakyat". Sementara hal lain yang lebih menyentuh hajat hidup dan kepentingan rakyat banyak terkesan tak dapat mmenyentuh dan menggerakkan hati dan pikiran mereka, serta menjadi fokus dan prioritas kerja mereka! (E. Sudaryanto-20/03/1912)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H