SEMARANG, E. SUDARYANTO | ucapan Presiden pada acara puncak Peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM Sedunia di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 Desember 2012, tentang penyelamatan pejabat yang melakukan korupsi karena tidak mengerti peraturan perundang-undangan, nampaknya hanya dapat dipahami oleh para pejabat yang hadir. Serentak mereka bertepuk tangan seolah "mengamini" pernyataan Presiden.
Namun insan atau masyarakat anti korupsi, tentu saja lebih suka "mengamini" kontra pendapat dari Ketua KPK Abraham Samad, yang menyatakan bahwa ketidaktahuan pejabat tentang peraturan perundang-undangan, bukan alasan yang syah agar dapat lepas dari pertanggung-jawaban hukum atas tindak pidana korupsi yang terjadi.
Dalam beberapa hal, pejabat korup seperti yang dimaksud Presiden SBY itu, seperti sopir (mobil, bus, truk dll) yang tidak atau belum cakap dalam mengemudi, dan tidak atau belum mengerti tentang peraturan lalu-lintas.
Apakah jika mereka lalai dalam mengemudi, sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu-lintas yang menimbulkan korban jiwa, mereka harus "diselamatkan" dari proses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?
Jawabnya tentu saja tidak! Ingat kasus kecelakaan yang dialami pedangdut Syaiful Jamil, yang menyebabkan kematian istrinya? Terlepas dari proses hukum yang mungkin tidak berjalan sebagaimana mestinya, dia (dan sopir-sopir lainnya) harus tetap mempertanggung-jawabkan perbuatannya di depan hukum.
Demikian juga seharunya yang terjadi pada pejabat yang diduga melakukan korupsi karena tidak memahami peraturan perundang-undangan. Bahkan ketidak tahuan pejabat tentang peraturan yang dimaksud, seharusnya menjadi faktor atau hal yang memberatkan hukumannya!
Dasar pemikirannya sangat sederhana. Kalau tidak mampu menjabat dan tidak mengerti soal peraturan perundang-undangan yang terkait dengan jabatan yang diembannya, mengapa mereka berani menjabat?
Namun jika ada faktor atau hal yang memberatkan hukuman, tentu ada juga yang dapat meringankan. Apa itu?
Seharusnya bukan faktor "uang" yang dijadikan dasar untuk meringankan hukuman! Pemberian keringanan hukuman seharus hanya dipertimbangkan jika (dan hanya jika) pejabat yang didakwa korupsi tersebut, berani mengaku salah pada kesempatan pertama, dan bersikap kooperatif serta mempunyai inisiatif untuk membantu aparat penegak hukum yang menangani kasusnya, untuk mengungkap kasus sampai ke akarnya!
Namun kenyataannya, adakah pejabat tersangka/terdakwa kasus korupsi, yang melakukan hal seperti tersebut di atas...?
Bahkan Andi Mallarangeng yang sempat dipuja puji karena keputusannya untuk mengundurkan diri dari jabatan di Kabinet dan partai, segera setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus Hambalang. Yang diduga oleh banyak pihak sebagai pejabat korupsi yang layak "diselamatlan" seperti yang dimaksud dalam pidato Presiden SBY kemarin. Sampai detik ini belum berani mengakui kesalahan dan/atau "kelalaiannya", sehingga kasus korupsi di Kementrian yang beliau pimpin dapat terjadi! (ES-121212)