Dalam running text sebuah TV yang concern dengan pemberitaan dan mengusung tagline: knowledge to elevate, dituliskan menurut Menko Kesra dua ratus dua puluh ribu ruang belajar di tanah air memerlukan perbaikan.
[caption id="attachment_134293" align="alignright" width="300" caption="Ruang Belajar Rusak (reportase.com)"][/caption] Membaca text tersebut yang berani bertaruh bahwa ruang belajar yang dimaksud adalah kelas yang lazim ada di sekolah. Karena singkat dan tak ada keterangan lebih lanjutan, jumlah ruang kelas yang menuntut perbaikan itu tidak dapat dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), menengah (SMA dan SMK) atau tinggi (Universitas, Institut dan Akademi). Begitu pula tidak dapat dibedakan, apakah pengakuan Menko Kesra ini berlaku untuk kelas yang berada dibawah ‘ketiak’ Kementrian Pendidikan Nasional atau cuga mencakup Kementrian Agama. Kita ketahui pula urusan pendidikan formal di tanah air juga dibawah kendali Kemenag seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan perguruan tinggi seperti Universitas Islam Neggeri yang dulu dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Namun tak apa,biarkan pertanyaan itu kita simpan sampai ada jawaban di kemudian hari.
Membaca kembali running text, besar kemungkinan pengakuan Menko Kesra berdasarkan pemahaman formal scholastic bahwa pendidikan yang membutuhkan ruang belajar adalah diperuntukkan bagi school community yaitu peserta didik di sekolah saja. Warga masyarakat - usia sekolah - dengan rentang usia 7 – 25 tahun namun tidak sedang sekolah atau sudah menamatkan jenjang tertentu, bahkan tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi tidak dapat dikategorikan penduduk sekolah (out-of-school community).
Sampai di sini, apabila sepakat pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara, bagaimana ‘wujud’ ruang belajar yang diperuntukkan bagi sebagian anggota masyarakat di luar sekolah (out-of-school community) tadi. Mari kita lebih fokus pada pemenuhan standar global berdasarkan acuan Indeks Pembangunan Manusia (HDI=Human Development Index) yang mensyaratkan pencapaian pendidikan dasar sembilan tahun, yaitu jenjang SD dan SMP juga Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Berapa dan bagaimana tingkat ‘kerusakan’ ruang belajar bagi masyarakat di luar sekolah yang memiliki rentang usia 7 – 13 tahun?
Apabila bentuk kerusakan bangunan ruang belajar mencapai dua ratus dua puluh ribu dan jumlah ini tentu tidak mencakup prasarana fisik lain seperti bangku sekolah, media/bahan belajar, laboratorium, perpustakaan, ruang pendukung termasuk koperasi sekolah, UKS, sanggar pramuka, ruang guru, ruang kepala sekolah hingga ruang penjaga sekolah. Maka berapa kerusakan prasarana non-fisik lain yang digolongkan pada kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan yaitu guru dan petugas administrasi tata usaha sekolah juga kepala sekolah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI