Mohon tunggu...
Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)
Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛) Mohon Tunggu... Lainnya - Independent Researcher

menekuni dan melibatkan diri aktif dalam praktek pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah, terutama berkaitan dengan pendidikan nonformal/informal dan pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan wilayah dan daerah http://www.call-hardy.blogspot.com/ Mobile: +62.8562127048

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melek Aksara saja Gak Cukup

15 Oktober 2011   02:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berada lebih dari 800 di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu rata-rata harian berkisar antara 23 hingga 28 derajat celcius, merupakan ciri iklim Desa Mayang, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang. Desa ini bisa disambangi setelah menempuh jarak sepuluh kilometer dari Jalan Cagak - Subang dimana patung nanas bertengger. Untuk mencapai tempat ini, tinggal mengikuti jalan pintas dari Subang menuju Tanjungsari, Sumedang atau arah kebalikan.

Salah satu kampung di desa ini yaitu Cibago, sejak tiga tahun berturut-turut menjadi sasaran pengembangan model keaksaraan yang diorientasikan pada upaya pemberantasan niraksara-wan/wati. Program pemberantasan buta aksara ini menyasar satu kelompok belajar yang beranggotakan sepuluh orang. Pada tahun 2007, kelompok ini kemudian menjadi sasaran keaksaraan fungsional. Dengan demikian, kemahiran ‘aksara’ yang meliputi baca, tulis dan hitung diarahkan pada pemberdayaan untuk menambah penguasaan dan meningkatkan keterampilan kerja untuk menopang pendapatan keluarga.

Dikembangkan kemudian pembelajaran pembuatan sapu ijuk dan budidaya tanaman nilam, bahan baku minyak astiri. Masyarakat Kampung Cibago secara turun temurun bermata pencaharian sebagai pembuat sapu pembersih lantai rumah dengan memanfaatkan ‘uyun’ (sejenis tanaman menyerupai rambut). Selain itu, masyarakat kebanyakan bekerja sebagai buruh tani atau berladang di areal milik perkebunan pemerintah yang ada di sekitar mereka.

Pembelajaran sapu ijuk diinisiasi mengingat kawasan hutan yang masih memiliki banyak pohon enau sumber utama ijuk, sehingga kalkulasi sederhana memberikan keuntungan dalam hal bahan baku utama pendukung. Penyelenggara pembelajaran mendatangkan secara khusus nara sumber dari luar daerah dan mengundang ahli pembuat sapu dari Tasikmalaya terutama untuk mengajarkan ikatan ‘tali cucuk belut’.

Ternyata kemudian keterampilan membuat sapu ijuk hanya digunakan selama tiga bulan setelah pembelajaran berakhir, sedangkan ‘teknologi-tali cucuk belut’ diadopsi untuk pembuatan sapu uyun. Sehingga versi ‘modern’ sapu uyun dapat dibuat dan dipasarkan menggunakan ‘tali cucuk belut’. Sedangkan bahan ijuk yang melimpah kembali di jual kepada pengepul/tengkulak sebagai bahan mentah.

Sedangkan tanaman nilam sendiri, sampai sekarang masih menjadi garapan masyarakat Cibago, setelah diperkenalkan intensif di tahun 2007 sebagai bagian dari muatan belajar keaksaraan fungsional. Program ini diprakarsai oleh lembaga pemerintah yang berkecimpung dalam pengembangan model pendidikan nonformal. Lembaga ini telah berkiprah sejak 9 oktober 1961 sebagai Pusat Latihan Nasional Pendidikan Masyarakat (PLNPM)

Budidaya nilam sendiri oleh masyarakat sebagai hasil pembelajaran keaksaraan fungsional tidak berjalan signifikan untuk menambah pendapatan keluarga yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kampung yang terletak paling ujung selatan dari Desa Mayang dan berbatasan dengan wilayah hutan milik negara.Ekstensifikasi lahan penanaman nilam tidak berbanding lurus dengan permintaan yang dipicu oleh kemunculan pabrik penyulingan yang dikelola masyarakat setempat atau pengusaha dari luar. Bahkan kebutuhan daun nilam untuk bahan penyulingan perusahaan investasi asing masih merupakan angan-angan masyarakat untuk mampu menjadi penyedia utama.

Terutama diakibatkan oleh cuaca dan iklim panas, daun nilam yang rentan terhadap udara panas menjadikan masyarakat hanya melaksanakan penanaman melalui tumpang sari di areal perkebunan dan hutan rakyat. Pola tumpang sari ini tidak mampu memenuhi kuota permintaan atas bahan baku minyak nilam, sehingga nilai ekonomis yang bisa diperoleh pun tidak besar.

Sebagai gambaran, hasil penyulingan minyak daun nilam sebanyak satu kilo liter, diperlukan daun kering hingga seratus kilogram setara dengan dua kuintal daun nilam basah. Nilai ekonomis daun nilam kering sendiri mencapai Rp 2000/kg sedangkan nilam basah dihargai Rp 700/kg. Sedangkan minyak hasil akhir penyulingan setiap kilo liter dihargai kisaran antara Rp 800,000 – Rp 1.250.000,-

Penguatan kemampuan usaha mandiri kelompok masyarakat ini pun ditopang stimulus anggaran pemerintah kabupaten dengan stimulan senilai dua juta rupiah. Dana ini sekaligus menjadi ‘parameter kinerja awal’ untuk dapat mendatangkan dana segar pengembangan usaha lanjutan hingga setengah milyar. Namun kinerja kelompok masyarakat ‘keaksaraan fungsional’ ini jauh dari kinerja memuaskan bahkan dikatakan tidak cukup prospektif dalam pengembangan usaha lebih lanjut. Hal ini karena ‘tindakan kurang iman’ yang ditunjukkan selama menerima dana stimulan, sikap konsumtif lebih dominan dibandingkan sikap produktif. Bukti yang ditunjukkan adalah dana habis digunakan masyarakat untuk kepentingan konsumtif tiga bulan setelah stimulan diterima.

Terhitung sejak tahun 2004, upaya pemberdayaan dan pemandirian masyarakat yang hendak dicapai melalui literacy sebagai entry point masih memerlukan perjalanan panjang. Bentukan hasil pembelajaran keaksaraan dasar, keaksaraan lanjutan dan keaksaraan usaha mandiri yang dilakukan ternyata belum me-restrukturisasi budaya dan kebiasaan baru masyarakat. Kapasitas dasar hasil bentukan pendidikan formal – apapun tingkatan dicapai – yang telah dimiliki kelompok masyarakat ini baik pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak lagi utuh menjadi batu sandungan sendiri dalam recovery treatment keaksaraan.

Setelah sebelas tahun intervensi pemberdayaan oleh pihak eksternal melalui program keaksaraan sebagai bagian pendidikan masyarakat di luar sekolah, masyarakat Cibago masih belum maksimal menunjukkan hasil belajar. Selain pembelajaran untuk mandiri masih berlangsung terus, dukungan lain mulai dari supra structure; kebijakan, aturan dan infra structure; sarana jalan, listrik, jaringan tilpon dan wadah pembelajaran masyarakat di luar sekolah.

Proyeksi pembangunan wilayah dan pemberdayaan masyarakat Cibago memelukan upaya lebih sinkron apalagi potensi salah satu air terjun akan dikelola pihak swasta menjadi micro hydro. Melek aksara saja tidak cukup dikuasai agar masyarakat Cibago secara individu maupun komunal untuk bersinergi dan berakselerasi terhadap kemajuan dan tuntutan pembangunan di wilayah mereka. Masih diperlukan ‘induk semang’ yang memberikan cantolan bagi kelompok masyarakat kampung Cibago agar mampu menunjukkan kontribusi, atau sumbangan positif dan tidak menjadi beban dalam membangun lingkungan tempat tinggal yang secara akumulasi turut membangun bangsa dan negara.

Peran praktisi pendidikan nonformal, yakni pamong belajar dalam menginisiasi pembelajaran keaksaraan hanya meretas sebagian jalan di semak belukar. Jalan tersebut masih belum bisa menghantarkan masyarakat kampung Cibago mencapai daerah impian. Masih dibutuhkan pihak luar untuk melanjutkan upaya agar jalan ‘keaksaraan’ semakin memberikan manfaat dan tambahan kemudahan bagi yang melaluinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun