Saya menyambut tulus kedatangan seorang tetangga yang mampir saat pulang dari warung sebelah rumah membeli keperluan harian siang itu. Sambil menyunggingkan senyum ‘renyah’ dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, saya pun beranjak dari tempat saya menyambut ke luar pagar halaman. “Maaf lahir batin” balas saya, setelah tetangga saya tersebut menjabat tangan dan mengucapkan “Minal Aidzin wal faidzin”.
Penggalan cerita di atas memang luar biasa, karena dilakukan di antara dua orang yang berbeda agama namun hidup bertetangga. Saya sendiri tidak begitu ekstrem menyikapi perbedaan keyakinan atau agama, selain tidak bermanfaat secara hablu min nas apalagi hidup bertetangga. Lebih dari itu, urusan hablu minallah merupakan hak individu yang memiliki cara tersendiri sesuai keyakinan dan kepercayaan setiap orang. Sehingga tidak ada urgensi untuk mengintervensi apalagi memprovokasi bahwa cara yang kita pilih lebih baik dari cara orang lain yang berbeda.
Sikap toleransi ini pula yang membuat saya bernafas lega ketika salah satu anggota dari keluarga satu buyut menikah dan harus melepaskan keyakinan asal berbeda dari keyakinan keluarga kami. Hingga memiliki seorang putra, paman saya ini senantiasa menghindari pertemuan keluarga, sekalipun sebagian besar anggota keluarga dapat menerima keputusan beralih keyakinan hidup. Seperti lebaran tahun silam, paman saya ini pun selalu memanfaatkan pertemuan keluarga untuk bersilaturahmi mempererat ikatan keluarga besar tanpa dikotomi keyakinan. Bahkan ucapan maaf lahir batin selalu disampaikan manakala paman saya yang menjadi pengajar di salah satu sekolah di ibukota ini menyampaikan minal aidzin wal faidzin kepada kami sekeluarga.
Lebaran 1432 H ini pun, paman saya menyampaikan harapan sekaligus undangan untuk kesekian kali yang belum mampu dipenuhi untuk mampir jika ke ibukota. Sambil memberikan kartu nama yang mencantumkan logo dan nama yayasan tempat dia mengajar, paman saya menuliskan di belakang kartu namanya alamat rumah yang terletak di bagian timur kota Jakarta.
[caption id="attachment_132574" align="aligncenter" width="391" caption="Damai itu Indah (Google, repro)"][/caption] Tetangga dan paman saya adalah bagian dari keluarga Indonesia yang memiliki keragaman seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tidak ada alasan untuk memperlakukan mereka di ruang terpisah dalam kehidupan bermasyarakat atas dasar perbedaan keyakinan. Damai itu indah, begitu slogan yang saya lihat pada kain spanduk berwarna hijau bertuliskan huruf kuning di salah satu ruas jalan yang dilalui dalam kesempatan mudik lebaran 1432 H.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI