Pembunuhan Berantai di nganjuk begitu topik yang dihantarkan Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi di akhir pekan (18/2) ini. Acara ini dipandu oleh dua orang anchor, Pramita Andinii dan Abraham Silaban, anchor yang disebut terakhir ternyata tidak berada dalam daftar list website tv swasta tersebut.
M sebagai pelaku yang menyimpang dan dikriminalkan, pada saat awal merupakan pribadi normal yang menyukai wanita. Interaksi di luar sekolah dengan 'media belajar' ternyata mengajarkan dan menghantarkan disorientasi seksual sehingga menyukai sesama jenis seorang pendidik formal bidang studi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang juga adalah majikan tempat M bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Penggalan wawancara yang menyoroti kasus ‘M’ di Jawa timur ini menghadirkan dua nara sumber; psikolog Tika Bisono dan kriminolog Erlangga Masdiana. Kedua narasumber memang menyoroti fenomena perilaku menyimpang pelaku yang 'ngerjain' pesaing cinta sesama jenis dengan racun tikus. Korban pekerjaan pelaku mencapai lima belas orang dan empat diantaranya meninggal. Tika Bisono dengan fasih menegaskan peran dan fungsi BK (Bimbingan Karir, pen) di sekolah yang dianggap menawarkan solusi atas penyimpangan perilaku kriminal. Sedangkan Erlangga Masdiana begitu yakin dengan ‘cultivation effect’ akibat interaksi manusia dengan media.
Kedua narasumber AKI ini hampir melupakan kenyataan pembentukan perilaku dalam dua locus pendidikan antara seseorang sebagai anggota school community dan out of school community. Bahkan interaksi keduanya seperti dipenggal tanpa korelasi dan dianggap tidak menjadikan sebagai sebuah kontinum. Meskipun di akhir, Tika Bisono menyoroti peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan majelis taklim untuk lebih berpean menangkal dan mencegah penyimpangan perilaku. Namun psikolog tersebut tak menawarkan bentuk nyata ‘kondisi belajar’ di luar sekolah yang mustajab.
Beragam kejadian perilaku menyimpang terutama kriminal hingga teroris dapat dipahami sebagai masalah pendidikan. Pendidikan ini bukan hanya mencakup kegiatan formal di sekolah belaka dimana perhatian pemerintah dan masyarakat menjadikan pengelolaan pendidikan formal sebagai anak emas dibandingkan dengan pengelolaan kegiatan pendidikan di luar sekolah (baik nonformal maupun informal).
[caption id="attachment_171834" align="alignleft" width="168" caption="Gawat Darurat Pendidikan (un.org)"][/caption]
Untuk melihat jelas ketimpangan perhatian terhadap pendidikan di luar sekolah ini, dapat dilihat dari keberadaan tanggung pengelolaan pendidikan, baik dari sisi struktur organisasi, anggaran hingga jumlah personil yang dilibatkan. Belum lagi jika hendak ditelusuri lebih dalam berkaitan dengan penghargaan dan reward bagi pengelola dan pendidik di luar sekolah.
Jika kemudian gejolak dan dinamika hasil belajar masyarakat berada di jalan yang menyimpang dan ‘out of design’ berdasarkan nilai dan etika. Dapat saja ini dipahami di awal sebagai ‘lampu kuning’ untuk mengkaji kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan tidak hanya mengedepankan sasaran scholastic formal. Dengan keterbatasan rentang waktu seseorang sebagai pribadi maupun anggota masyarakat menjalani kehidupan di sekolah. Maka kedudukan dan potensi situasi pendidikan di luar sekolah harus mulai diperhatikan, dibenahi dan dibangun lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H