Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Bentuk Demokrasi Ala Indonesia

24 April 2011   10:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:27 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari Bentuk Demokrasi Ala Indonesia

Oleh : Dzulfian Syafrian[1]

Sudah hampir 66 tahun Republik Indonesia ini berdiri. Umur yang memang tidak muda lagi. Seharusnya diumur yang semakin matang, Indonesia telah menjadi bangsa yang maju dari berbagai sektor kehidupan. Sayangnya fakta berkata lain. Bisa kita lihat dari Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih berkutat di peringkat 108 dari sekitar 160 negara (UNDP, 2010). Belum lagi jika kita lihat angka kemiskinan yang masih sekitar 31,02 juta jiwa (BPS, Maret 2010). Sebenarnya masih banyak lagi data statistik yang menunjukkan bahwa Indonesia masih harus perlu berbenah di berbagai hal, namun tidak mungkin dijabarkan satu per satu dalam tulisan singkat kali ini.

Salah satu variabel penting yang harus segera diperbaiki oleh Indonesia adalah mencari konsep demokrasi yang ideal untuk Indonesia. Tercatat sudah ada beberapa sistem politik yang diadopsi oleh Indonesia. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1955-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan Demokrasi pasca Reformasi (1998-sekarang). Sejarah mencatat bahwa Indonesia telah mengadopsi dua ekstrim sistem politik yaitu Demokrasi Liberal (era Demokrasi Parlementer) maupun Rezim Otoritarian (Era Orde Lama dan Orbe Baru).

Pasca gerakan reformasi pada tahun 1998, Indonesia memasuki fase konsolidasi demokrasi yang baru. Indonesia memasuki era demokrasi one man-one vote dimana para anggota dewan dan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah ini sistem politik terbaik bagi Indonesia?

Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah bahwa demokrasi yang kita anut saat ini (one man-one vote) telahsesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Apakah sistem demokrasi saat ini telah sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa kita sebagaimana tertuang dalam sila keempat “Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Nampaknya demokrasi yang kita adopsi terlalu western oriented atau lebih tepatnya American Oriented, sistem demokrasi yang belum tentu cocok dengan budaya Indonesia.

Apakah benar bahwa setiap Anggota DPRD tingakat II, Tingkat I, DPR Pusat, Bupati/Walikota, Gubernur, hingga Presiden, harus dipilih langsung oleh rakyat? Jika kita berkaca kenyataan saat ini, sebagian besar Pilkada sering terjadi kerusuhan dan memicu konflik horizontal sesama warga sekitar. Siap menang, namun tidak siap kalah itulah watak para petinggi negeri ini. Hal ini jelas merugikan dan berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Sebenarnya, penulis sendiri tidak heran jika setiap adanya perhelatan pemilu atau pilkada terjadi kerusuhan, fitnah sana-sini, black campaigm, dll. Di tataran mahasiswa saja yang notabene kalangan intelektual dan elit masyarakat, hal-hal tidak terpuji ini kerap terjadi saat terjadinya pemilihan Ketua BEM baik level fakultas apalagi level universitas. Mencoba mengambil hikmah dari kontestasi politik kampus, penulis menarik beberapa kesimpulan terkait prasyarat minimum untuk melaksanakan demokrasi one man-one vote diIndonesia.

Pertama, Masyarakat harus cerdas dan melek politik. Masyarakat harus memahami bahwa suara mereka akan berdampak kepada masa depan negeri ini. Suara mereka akan menentukan kemana arah kebijakan negeri ini akan diambil, kepada siapa suara rakyat ini kita percayakan, dan minimal suara kita menentukan siapa yang akan menjadi nahkoda negeri ini dalam beberapa tahun ke depan.

Kedua, Tingkat kesejahteraan harus mencukupi. Omong kosong kita berbicara demokrasi jika kesejahteraan masyarakat masih di bawah standar kelayakan. Yang ada adalah demokrasi transaksional. Praktek-praktek suap akan marak terjadi. Alhasil, bias politik dan legitimasi dari proses politik itu pun dipertanyakan.

Ketiga, tingkat intelektualitas masyarakat juga harus di atas rata-rata. Demokrasi adalah ruang publik dimana tidak ada boleh adanya kebenaran tunggal. Kebenaran dalam alam demokrasi pun harus diuji melalui rasionalitas karena rasionalitas adalah alat yang menyatukan perbedaan-perbedaan di masyarakat (Gerung, 2010).

Melihat ketiga prasyarat tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa secara idealisme bahwa demokrasi one man-one vote seperti saat ini adalah sistem yang paling ideal bagi Indonesia, namun jika kita melihat realitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih rabun politik, rendah tingkat kesejahteraan, dan intelektualitasnya maka sistem demokrasi one man-one vote di setiap pemilu atau pilkada perlu kita renungkan kembali. Wallahu a’lam.

[1] Penuli adalah Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa FEUI Periode 2011. Aktivis HMI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun