Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mudah Memahami Redenominasi

9 Agustus 2010   23:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:10 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Dzulfian Syafrian

Beberapa hari yang lalu, kita dikagetkan oleh berita tentang redenominasi. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba wacana redenominasi nampaknya akan digarap serius oleh Pemerintah dan BI. Lalu masyarakat pun mulai bertanya tentang apa itu makhluk yang disebut dengan redenominasi.

Pada tulisan singkat dan sederhana kali ini, saya mencoba menguraikan sejauh pengetahuan saya tentang apa itu redenominasi. Semoga tulisan ini dapat menjadi pemicu diskusi selanjutnya tentang isu redenominasi ini.

Apa itu Redenominasi ?

Secara sederhana redenominasi adalah penyederhanaan pecahan uang tanpa ada perubahan daya beli uang itu sendiri. Rencananya BI akan mengurangi tiga digit angka nol pecahan rupiah. Contoh misalkan uang Rp.1000,- ketika redenominasi diterapkan nilainya akan setara dengan Rp.1,-. Uang Rp.100.000,- akan setara dengan nilai uang Rp.100,-.

Lalu bagaimana dengan pecahan uang Rp.100,- atau Rp.500,- ? Mudah saja, kita akan menggunakan sistem sen seperti di Amerika atau luar negeri lainnya. Contoh misalkan uang Rp. 100,- akan menjadi Rp. 0,1,- atau setara dengan 1 sen rupiah. Jadi misalkan sekarangharga nasi pecel ayam Rp.9000,- ketika diredenominasi anda cukup membayar Rp.9,- saja. Mudah bukan?

Bagaimana caranya agar redenominasi dapat berjalan ?

Pertama, yang harus dilakukan Pemerintah dan BI adalah sosialisasi harus gencar. Masyarakat luas harus diberikan pencerdasan bahwa redenominasi tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai uang seperti yang terjadi ketika jaman orla/orba. Sosialiasi juga harus ditekankan terhadap hal-hal teknis seperti penggunaan mata uang baru, nasib mata uang lama, dll. Ketika sosialisasi tidak berjalan dengan lancar, bukan tidak mungkin reaksi masyarakat dan pasar akan skeptis bahkan menolak. Jika penolakan terjadi, alih-alih tujuan kebijakan ini baik justru nanti kebijakan ini akan kontraproduktif.

Kedua, Pemerintah dan BI juga harus mempersiapkan berbagai peraturan pendukung. Kebijakan ini memang tidak dapat diterapkan seketika, harus melalui proses yang cukup panjang. Proses ini dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam peraturan yang mendukung terkait kebijakan redenominasi.

Ketiga, Kesiapan berbagai perangkat pendukung. Perubahan nominal dalam rupiah pastilah akan berpengaruh pula pada berbagai perangkat ekonomi yang ada. Hal-hal seperti pencatatan akuntansi, nilai yang tertera pada ATM, mesin kasir, atau Pompa bensin dan mesin semacamnya juga harus dipersiapkan. Jangan sampai masyarakat belum siap dengan perubahan yang tergolong cukup drastis ini.

Perlukah Redenominasi?

Jika dalam fikih islam, penerapan redenominasi di Indonesia menurut penulis bersifat mubah (boleh-boleh saja). Tak ada masalah jika redenominasi diterapkan, tak apa pula jika redenominasi tidak jadi dilakukan. Lalu kenapa Pemerintah dan BI melempar wacana adanya redenominasi?

Ada beberapa alasan yang diajukan oleh Pemerintah dan BI kenapa Indonesia akan melakukan redenominasi. Pertama, setelah redenominasi akan lebih praktis. Pecahan mata uang di Indonesia memang sudah tergolong yang terbesar di Indonesia. Indonesia saat ini saja sudah memiliki pecahan mata uang Rp.100.000,-. Jika redenominasi dilakukan, kita tidak perlu lagi membawa uang terlalu banyak di dompet. Selain itu, harga-harga pun terlihat lebih praktis. Contoh misalkan harga motor sekarang adalah Rp.15.000.000,- (15 juta), setelah diredenominasi maka akan berubah menjadi Rp.15.000,- (15 ribu) saja, lebih ringkas bukan?

Kedua, Alasan kedua yang diajukan Pemerintah memang sangat SBY sekali, yaitu tentang Citra/kesetaraan/harga diri Bangsa kita dihadapan bangsa asing. Setelah diredenominasi, nilai tukar rupiah tidak akan sejauh seperti saat ini. Misalkan sekarang nilai tukar $1 =Rp.9000,- maka setelah redenominasi akan berubah menjadi $1=Rp.9,-. Got it ?

Kisah Sukses Turki

Redenominasi bukanlah isu baru di dunia ekonomi moneter. Redenominasi sudah dilakukan oleh beberapa negara. Ada kisah sukses, ada pula sebaliknya. Salah satu kisah sukses redenominasi adalah kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Turki.

Kisah sukses redenominasi Turki bukanlah kisah Bandung Bondowoso, yang hanya dilakukan dalam satu malam. Turki mempersiapkan meredenomiasi Lira mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun. Persiapan dan perjalanan tersebut dimulai dari tahun 1998 dan pada akhirnya di awal tahun 2005 Turki melakukan redenominasi terhadap Lira mereka.

Redenominasi Lira jauh lebih besar dibandingkan apa yang akan dilakukan Indonesia. Lira Turki dihilangkan enam digit angka nol. Contoh misalkan pecahan uang 10.000.000 Lira berubah menjadi 10 lira. Pergantian pecahan mata uang ini dilakukan oleh Turki secara simultan. Jadi, mata uang lama tetap beredar selama fase sosialisasi. Pada fase ini pula pecahan baru diperkenalkan. Fase ini berlangsung selama setahun. Setelah setahun, pecahan uang lama akan ditarik oleh otoritas setempat.

Beberapa Catatan

Harus diakui bahwa kebijakan redenominasi tidak berjalan mulus di setiap negara. Zimbabwe dan Rusia adalah dua contoh negara yang gagal menerapkan redenominasi di negara mereka masing-masing. Ada beberapa alasan kenapa dua negara tersebut gagal menerapkan redenominasi.

Pertama, kredibilitas Bank Sentral yang kurang dipercaya. Redenominasi mensyaratkan otoritas moneter setempat memiliki kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat. Kalau tidak, kebijakan redenominasi akan dianggap sebagai akal-akalan Pemerintah dan Bank Sentral yang tidak dapat mengendalikan laju inflasi.

Kedua, Redenominasi juga mensyaratkan kondisi ekonomi yang relatif stabil. Kegagalan redenominasi di Rusia misalkan dijadikan alat untuk memeras rakyatnya sendiri, wajar jika kemudia redenominasi di Rusia mengalami kegagalan. Indikator-indikator ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi harus diperhatikan sebelum memutuskan untuk melakukan redenominasi.

Redenominasi memang tidak masalah jika dilakukan dengan cara dan waktu yang tepat. Kisah sukses Turki mungkin dapat kita jadikan contoh baik tetapi harus diingat juga bahwa kisah seperti yang terjadi di Zimbabwe dan Russia juga tidak boleh dilupakan. Sekarang semua kembali ke Pemerintah. Apakah tingkat urgensi kebijakan ini sudah cukup tinggi? Bukankah hal-hal seperti ancaman inflasi, tingginya angka pengangguran, meningkatkan fungsi pengawasan bank, dan strategi guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting? Pada akhirnya semua akan kembali ke Pemerintah, jalan mana yang akan ditempuh.

Bekasi, 09 Agustus 2010

Dz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun