Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The Third Way Economics

13 Juli 2010   05:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:54 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem kapitalisme global saat ini telah banyak mengundang tanda tanya besar. Krisis finansial global 2008 kemarin semakin mempertegas bahwa sistem kapitalisme global memang tidak sempurna, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa kapitalisme telah gagal dan menemui ajalnya (The End of Capitalisme).

Kapitalisme global hanyalah dapat tumbuh subur jika didukung oleh sistem ekonomi liberal atau sistem ekonomi pasar bebas. Sistem ekonomi ini memiliki dua paham utama yaitu individualisme (self-interset) dan liberalisme (perfect indvidual liberty). Paham individualisme mengajarkan bahwa kemakmuran orang per orang merupakan tujuan utama ekonomi, sedangkan paham liberalisme memiliki pandangan bahwa pasar bersifat self-regulating dengan mitos Laissez-faire nya.

Paham bahwa pasar bersifat self-regulating telah banyak dikritik oleh para ekonom. Konon katanya, pasar bersifat self-regulating atau self-correcting, namun kenyataannya kegagalan pasar (market failures) ada dimana-mana. Disinilah kemudian muncul istilah The End of Laissez-faire.

Sudah cukup banyak ekonom kaliber dunia yang menyuarakan istilah The End of Laissez-faire. Tokoh-tokoh seperti John Maynard Keynes (1926), Joseph E. Stiglitz (1990-2002), dan terakhir Peraih Nobel 2009 (Elinor Ostrom dan George Akerlof) adalah beberapa tokoh yang menyuarakan bahwa pasar tidaklah sempurna karena banyak terdapat market failures dimana-mana.

Setidaknya dunia memang dihadapkan oleh dua sistem ekonomi yang sangat berbeda, yaitu Pasar bebas dan Marxisme. Sistem ekonomi liberal atau yang lebih dikenal dengan sistem ekonomi pasar bebas merupakan lahan yang subur bagi lahirnya kapitalisme. Kapitalisme yang menurut Marx telah menyebabkan eksploitasi manusia (labor) oleh manusia (capitalist).

Jika kita baca secara mendalam, antara Kapitalisme dan Marxisme sebenarnya terjadi adu argumentasi dua kutub yang berlawanan. Diskursus ini sangat baik untuk menemukan sistem ekonomi yang ideal bagi dunia. Sayangnya, pasca berakhirnya perang dingin dimana Soviet menderita kekalahan, Pemikiran kiri (baca:Marxisme) mengalami krisis yang di kemudian hari disebut oleh Francis Fukuyama yang disebut dengan The End of History. Praktis, sistem ekonomi liberal dengan kapitalisme globalnya menggurita dan menancapkan kuku-kukunya di seluruh penjuru dunia.

Indonesia sebagai bagian dalam integral dalam percaturan global tentu tidak boleh tinggal diam. Cita-cita ekonomi para pendiri bangsa (founding fathers) sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita adalah pandangan dan doktrin kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 33 yang dikenal sebagai pasal tentang ekonomi telah dengan gamblang menyebutkan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".

Frase "disusun" memiliki makna perlunya tindakan penyusunan perekonomian nasional atau dengan kata lain perekonomian tidak disusun berdasarkan kehendak pasar bebas. Disusun bukan berarti Pemerintah harus mengintervensi seluruh kegiatan perekonomian tetapi Pemerintah wajib menjamin bahwa kesejahteraan tidak boleh beredar di antara orang-orang tertentu saja. Inilah doktrin perekonomian Indonesia yang mengharamkan adanya ketimpangan sosial di antara masyarakatnya.

Selain itu, Pasal 33 juga mengajarkan kita bahwa perekonomian nasional harus berdasarkan nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Dua nilai utama inilah yang seharusnya menjadi roh dari setiap kegiatan perekonomian nasional. Koperasi yang dikenalkan oleh Bung Hatta merupakan wadah ekonomi yang berlandaskan dua nilai mulia ini. Sayangnya, nasib koperasi saat ini tidak seindah nilai yang mereka punya.

Kebersamaan dan kekeluargaan merupakan nilai budaya asli Indonesia. Masyarakat Indonesia telah lama mengenal istilah "gotong-royong" dalam kehidupan bermasyarakatnya. Gotong-royong dapat menimbulkan suasana saling tolong menolong, saling bahu-membahu, dan membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Inilah budaya asli kita, budaya Indonesia. Budaya yang begitu mulia, namun sayangnya mulai luntur bahkan dilupakan oleh orang Indonesia sendiri.

Kini, Sudah saatnya Indonesia kembali ke nilai-nilai luhur warisan asli budaya bangsa. Nilai-nilai yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Nilai luhur yang mengajarkan pentingnya saling membatu dan menolong sesama anak bangsa, bukan justru saling mengekploitasi dan menindas anak bangsa sendiri. Itulah ekonomi Indonesia, ekonomi jalan ketiga (The Third Way Economics).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun