Abstrak
Perdebatan tentang apa itu arti dan standar kemiskinan terus terjadi hingga sekarang. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan sering menjadi komoditas politik baik bagi kubu berkuasa maupun oposisi. Pro-kontra tentang siapa itu orang miskin, standar kemiskinan, dan peran pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan terus menjadi perdebatan. Makalah ini mencoba untuk mendefinisikan angka kemiskinan, membandingkan antar standar kemiskinan, dan menganalisis peran negara dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia.
Kata kunci : definisi orang miskin; standar kemiskinan; peran negara
Pendahuluan
Dalam pidato pelantikan Presidennya, SBY mengutarakan beberapa agenda yang akan dilakukan dalam pemerintahannya lima tahun ke depan (2009-2014). Salah satu agenda yang diberikan perhatian khusus adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini wajar mengingat masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar rakyat Indonesia.
Indikator utama masih rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 2004, angka kemiskinan masih sebesar 36,2 juta (16,6%). Angka ini sempat turun pada tahun 2005 menjadi 35,1 juta (16%). Namun naik lagi pada tahun 2006 menjadi 39,3 juta (17,8%) karena dipicu kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Sejak tahun 2007 hingga 2009 trend angka kemiskinan terus menurun dan telah menyentuh angka 32,5 juta (14,2%) pada tahun 2009 ini.[1]
Untuk mengurangi angka kemiskinan, SBY menerapkan program-program populis seperti BLT, Jamkesnas, PNPM Mandiri, dan raskin[2]. Secara garis besar, program-program ini merupakan program yang bersifat short-run dan hanya memiliki multiplier effect yang rendah karena hanya dapat mereduksi gejala kemiskinan sesaat. Padahal, masalah kemiskinan di Indonesia telah menjadi permasalahan struktural, bukan permasalahan atau fenomena sesaat. Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan tidak semudah seperti memutar telapak tangan.
Oleh karena itu, penanganan masalah kemiskinan di Indonesia harus mendapatkan perhatian ekstra serius dari pemerintah. Hal ini cukup penting mengingat konstitusi kita mengamanatkan bahwa negara wajib melindungi segenap warga negaranya, terutama orang miskin.[3]
Sebelum menangani masalah kemiskinan, hal yang penting untuk diketahui adalah bagaimana mengenal dan menentukan (measure) standar kemiskinan. Banyak standar kemiskinan yang ada seperti Versi BPS, World Bank, PBB (MDG'S), dan Schiller (1989). Hal ini sangat penting karena tanpa mengetahui karakteristik kemiskinan, kita akan mengalami kesulitan untuk menentukan kemiskinan.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengulas tentang potret kemiskinan di Indonesia, pro-kontra mengenai standar kemiskinan, serta menganalisis peran negara dalam menanggulangi kemiskinan selama ini.
Tujuan
Ada beberapa tujuan penulisan makalah ini. Pertama, makalah ini mencoba untuk menganalisis permasalahan mendasar dalam perekonomian Indonesia khususnya dalam hal mengentaskan kemiskinan struktural. Kedua, mencoba untuk mengenal karakteristik kemiskinan di Indonesia. Ketiga, membandingkan kondisi kemiskinan di Indonesia dengan negara lain. Keempat, memberikan masukan terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Metode
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan kali ini adalah dengan menggunakan data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber seperti website, buku, jurnal, dll.
Hasil dan pembahasan
Definisi Kemiskinan
World Bank mendefinisikan kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia yang bisa berupa fisik dan sosial. Kekurangan fisik adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar materi dan biologis (basic material and biological needs), termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Di sisi lain, ketidakcukupan sosial adalah adanya resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang.[4]
Pendapat lain mengenai arti atau definisi kemiskinan datang dari salah satu peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen. Professor dari Harvard University itu mengatakan bahwa ada beberapa cara pendekatan untuk mengetahui apa itu kemiskinan. Sen menawarkan pendekatan melalui kelaparan atau akses seseorang terhadap pangan. Menurut Sen, Seseorang akan mendapatkan makanan jika dia dikenal secara sosial dan legal. Jadi, walaupun ketersediaan pangan melimpah, Sen berpendapat "Starvation is seen as the result of his inability to establish entitlement to enough food".[5]
Selain itu, dalam bukunya Development as Freedom, Sen juga mengatakan bahwa kemiskinan erat kaitannya dengan Capability Deprivation, yaitu kemampuan untuk mengakses hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan perumahan. Sen mengatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan adalah karena orang tersebut memiliki akses yang terbatas terhadap pemenuhan hak-hak dasar mereka. Oleh karena itu, Sen mengatakan bahwa untuk memberantas kemiskinan adalah dengan memberikan kesempatan/akses kepada orang miskin terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.[6]
Standar Kemiskinan
Dalam Bukunya, The Economics of Poverty and Discrimination, - Bradley R. Schiller, menyebutkan beberapa hal penting untuk menghitung dan menentukan angka kemiskinan. Schiller menawarkan beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka kemiskinan.
Pertama, Konsep kebutuhan dasar (The Concept of Minimun Needs). Dalam menentukan kriteria orang miskin, kita harus mengetahui terlebih dahulu kebutuhan dasar apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang. Kriteria-kriteria ini sangat penting untuk dijadikan parameter. Ketika parameter-parameter ini tidak terpenuhi, maka orang tersebut baru dapat dikategorikan miskin.
Sulit memang untuk menentukan kebutuhan dasar manusia karena setiap orang memiliki kebutuhan dasar yang berbeda-beda. Kebutuhan-kebutuhan ini mencakup akan barang dan jasa. Parameter-parameter ini harus dapat dikuantitatifkan karena untuk melakukan perhitungan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Schiller berpendapat bahwa ada beberapa kriteria yang termasuk dalam kebutuhan dasar manusia. Variabel-variabel tersebut adalah asupan kalori, konsumsi energi, kebutuhan akan pakaian, dll. (Tabel 1)
Tabel 1. Hyothetical Minimum Needs.
Category
Amount
Minimun food requirements
2471 calories per day
Minimun fuel requirements
37 KW-hours
Minimun shelter requirements
60 Board feet
Minimun clothing requirements
4 pounds
Minimun transportation requirements
7 miles
Sumber : Schiller, 1989.
Sekilas apa yang ditentukan oleh Schiller ini tidak terlalu berbeda dengan standar kemiskinan Versi BPS. BPS menggunakan 14 variabel/kriteria untuk mengkategorikan penduduk miskin. Variabel-variabel atau kriteria-kriteria itu adalah : luas lantai bangunan; jenis lantai bangunan yang digunakan; jenis dinding yang digunakan; ada tidaknya jamban/toilet; ada tidaknya sumber penerangan rumah tangga; sumber air minum; jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari; jumlah konsumsi daging, susu, ayam; pengeluaran untuk barang sandang; tingkat konsumsi makanan; pengeluaran untuk kesehatan; jumlah penghasilan kepala rumah tangga dalam sebulan; tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; dan jumlah tabungan yang dimiliki. Seseorang akan dikategorikan miskin oleh BPS jika memenuhi minimal 8 dari 14 kriteria/variabel tersebut.[7]
Tabel 2. Standar Kemiskinan Versi BPS (Maret 2007)
No
Parameter
Satuan
1
Pendapatan
Rp.167.000,-/bulan/orang atau Rp.5.500,-/hari/orang
2
Rumah
Kurang dari 8 m2; lantai tanah/bambu; dinding bambu/rumbia
3
Jamban/toilet
Tidak ada
4
Penerangan
Lampu templok (minyak), tanpa listrik
5
Sumber air
Sumur/air hujan
6
Bahan bakar memasak
Kayu/minyak tanah
7
Makan
1 atau maksimum 2 kali/hari
8
Konsumsi
Daging/ayam/susu sebanyak 1 kali/minggu
9
Asupan kalori
2100/hari
10
Pakaian
Membeli satu stel/tahun
11
Kesehatan
Tidak sanggup membayar biaya pengobatan Puskesmas
12
Pendidikan tertinggi
Sekolah Dasar (SD)
13
Sumber penghasilan kepala rumah tangga
Kurang dari ( < ) Rp.600.000,-/bulan
14
Tabungan
Tidak ada
Sumber : BPS. (disadur dari Batubara, 2008)
Kedua, Satuan Pengukuran (Units of Measure). Dalam ekonomi, kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari daya beli (purchasing power). Pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli adalah dengan menggunakan satuan mata uang. Mata uang yang digunakan tergantung kebutuhan negara tersebut. dalam bukunya Schiller menggunakan dollar sebagai satuan.
Idealnya untuk mengukur daya beli, pendekatan yang terbaik adalah dengan mengukur tingkat pendapatan (income). Namun, permasalahannya sulit sekali untuk megukur pendapatan seseorang karena setiap orang tidak hanya mendapatkan pendapatan dari gaji pokok mereka tetapi mereka juga kerap mendapat tambahan-tambahan dari sumber-sumber penghasilan yang lain.
Oleh karena itu, hingga saat ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah pendekatan pengeluaran karena pengeluaran dapat diukur dengan mudah. Contoh sederhana pendekatan pengeluaran adalah rumus GDP (konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor).[8]
Dalam menentukan index kemiskinan bukanlah perkara mudah. Arti dan batas kemiskinan itu sangatlah relatif. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Sebagai contoh, pada tahun 1963 di Amerika batas pengeluaran kriteria orang miskin adalah sekitar $ 2995,92 per tahun. angka ini terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. (tabel 3)
Tabel 3. The CEA Poverty Budget, 1963
Food budget
$2.736 per day x 365 days
= $ 998.64
Non-food Budget
2 x food budget
= $ 1997,28
Total
= $ 2995,92
Sumber : Schiller, 1989.
Pada tahun 1989, kriteria kemiskinan ini berubah lagi. Hal ini dikarenakan menurut Schiller diperlukan adanya penyesuaian standard kemiskinan dengan perubahan zaman, khususnya tingkat inflasi.
Perhitungan angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh berapa banyak anggota keluarganya. Sebagai contoh, pada tahun 1963 garis kemiskinan adalah sebesar $3,130 per hari, namun pada tahun 1989 naik menjadi $12,560 per hari. Kenaikan garis kemiskinan ini belum tentu pertanda meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Angka ini berubah dikarenakan disesuaikan dengan kenaikan harga (inflasi). Jadi, jika kita ingin meningkatkan garis kemiskinan maka angka ini harus berada di atas level $12,560 pada tahun 1989.
Angka $ 12,560 merupakan garis kemiskinan untuk keluarga dengan komposisi dua orang tua dan dua orang anak. Selain komposisi tersebut, garis kemiskinan memiliki ukuran yang berbeda. (tabel 4)
Tabel 4. Poverty Standards, 1989
Size of Family
Poverty Standards ($)
One Member
6,250
Two members
8,000
Three members
9,00
Four members
12,560
Five members
14,860
Six members
16,770
Seven members
19,100
Eight members
21,100
Note : dugaan poverty treshold (1989) berdasarkan proyeksi penulis.
Schiller, 1989.
Pro-Kontra Angka Kemiskinan
Penentuan tentang jumlah orang miskin tergantung bagaimana kita mendefinisikan dan menentukan standar tentang kemiskinan itu sendiri. Ada beberapa kriteria kemiskinan yang kita kenal, namun yang paling sering kita dengar adalah angka kemiskinan Versi BPS. Kriteria orang miskin Versi BPS ditentukan oleh 14 faktor atau parameter.[9]
Jika kita lihat lebih dalam, kriteria-kriteria tersebut nampaknya memang sangat tidak manusiawi tetapi itulah potret atau gambaran kemiskinan di Indonesia yang masih sangat jauh dari layak. Terlebih jika kita bandingkan standar yang ditetapkan oleh BPS dengan World Bank. Menurut World Bank, salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang berpenghasilan di bawah dua dollar per hari atau sekitar Rp. 19.000,-[10].
Tabel 4 menunjukkan bagaimana standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS sangatlah rendah. Hal ini dapat kita bandingkan jika kita bandingkan dengan standar kemiskinan yang ditetapkan oleh PBB (MDG'S), terlebih lagi jika kita bandingkan dengan World Bank. Yang lebih menyedihkan lagi ketika kita bandingkan standar kemiskinan BPS (2007) tetap jauh lebih rendah jika kita bandingkan dengan standar kemiskinan di Amerika Serikat sekitar 46 tahun yang lalu (1963).
Tabel 4. Perbandingan Standar Kemiskinan
Parameter
BPS
(versi Maret 2007)
World Bank
PBB (MDG'S)
Amerika Serikat
Tahun 1963 (Schiller, 1989)
Pendapatan (per orang per hari )
Rp.5.500,-
($0,6)
Rp.19.000,-
($2)
Rp. 9.500,-
($1)
Rp.29735,-
($3,13)
Asupan Kalori (per hari)
2100
-
-
2471
Penerangan
Lampu Templok, Tidak ada listrik (0 KWh).
-
-
37 KWh
Sumber : dari berbagai sumber, diolah.
Sejarah mencatat, Angka kemiskinan berhasil turun tajam dari sekitar 60 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk menjadi hanya tinggal 27,2 juta jiwa atau 15 persen pada tahun 1990. [11] Keberhasilan pengurangan angka kemiskinan ini besar kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, pertama karena keberhasilan PJP I atau bisa juga karena perubahan kriteria kemiskinan yang notabenenya mengalami penurunan kualitas dibandingkan kriteria sebelumnya.
Kemiskinan memang merupakan momok utama dalam perekonomian suatu negara. Makin banyak kemiskinan di suatu negara, menggambarkan ketidakberesan negara dalam mengurus rakyatnya. Selain itu, kemiskinan juga merupakan potret adanya suatu kegagalan ekonomi. Terlebih jika kemiskinan telah berlangsung sejak lama. Bila hal ini sudah terjadi maka kemiskinan ini bukan merupakan fenomena sesaat tetapi sudah menjadi fenomena struktural yang harus diselesaikan dengan cara yang sistematis dan berkelanjutan.
Peran Negara
Peran Negara dalam menangani masalah kemiskinan sebenarnya sudah sangat jelas diamanatkan dalam konstitusi kita. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Makna dari pasal ini adalah bahwa negara melindungi sepenuhnya orang-orang miskin di Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia, tak terkecuali orang miskin.
Presiden Amerika, Abraham Lincoln, berkata bahwa yang menjadi mata saya dalam menentukan kebijakan adalah konstitusi negara (Amerika). Konstitusi menjadi acuan dasar dan utama dalam menentukan segal kebijakan dan arah pembangunan. Konstitusi di setiap negara berbeda satu sama lain. Untuk konteks Indonesia, sudah jelas bahwa negara tidak dapat dan tidak boleh melepas tanggung jawabnya dalam memelihara orang miskin di Indonesia.
Orang miskin harus dipelihara, dibina, dan diberdayakan. Orang miskin jangan dijadikan obyek pembangunan, namun orang miskin juga harus menjadi subyek pembangunan integral negeri ini. Pembangunan orang miskin adalah inti dari pembangunan ekonomi karena dengan membangun ekonomi rakyat miskin berarti kita sudah membangun manusia yang rentan dari berbagai krisis yang dipicu oleh krisis ekonomi. Pembangunan orang miskin berarti pembangunan guna mengurangi beban utama pembangunan.
Dalam teori ekonomi pembangunan, kita mengenal teori Trickle Down Effect.[12] Dalam teori ini menekankan bahwa setiap negara harus mengejar tingkat pertumbuhan sebesar mungkin. Pertumbuhan yang besar kelak akan memberikan dampak terhadap pembangunan rakyat miskin. Jika kita analogikan, teori ini seperti kita mengisi air ke gelas. Lama-kelamaan air akan memenuhi gelas sehingga kelebihan air itu akan menetes/merembes (trickle down) ke masyarakat bawah.
Selintas teori sangat logis dengan analoginya, namun kondisi di lapangan berkata lain. Teori ini sulit untuk diterapkan di negara berkembang, khususnya Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal seperti belum ada sistem ekonomi yang baku dan kuat, belum meratanya pendapatan, akses yang terbatas, dan korupsi.
Teori yang tepat bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah Trickle Up Effect. Teori yang menekankan bahwa pembangunan harus dimulai pembangunan dari tingkat bawah. Pembangunan golongan menengah ke bawah kelak akan berdampak signifikan terhadap pembangunan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi menengah ke bawah memberikan ekonomi biaya murah (low cost economy).
Sektor Formal dan Informal
Pembangunan ekonomi dari bawah berhubungan erat dengan sektor informal. Sektor informal memiliki peran yang sangat signifikan terhadap perekonomian nasional. Sekitar 70% sektor informal mampu menyerap tenaga kerja. Selain itu, sektor informal pulalah yang mendukung eksistensi sektor formal di Indonesia. Tidak ada sektor formal tanpa ada dukungan dari sektor informal. Potret sederhana adalah di sekitar mall-mall yang begitu megah pasti terdapat rumah makan sederhana seperti, warteg, masakan padang, atau kantin karyawan pasti ada disana.
Namun, keberadaan sektor informal ini pun bukan tanpa resiko. Sektor informal biasanya ditandai dengan minim modal, kurang keahlian, dan manajemen yang kurang ditata. Kekurangan-kekurangan ini jarang terjadi di sektor formal. Sektor formal biasanya menuntut kerja profesional dengan dukungan modal yang besar. Para pekerja juga diberikan tunjangan-tunjangan yang layak, peraturan yang jelas dan mengikat, dan pelatihan keterampilan.
Semakin sedikit sektor formal berarti semakin sedikit tentaga kerja kita yang kompetitif. Semakin sedikit pula tenaga kerja kita yang berenghasilan cukup atau layak. Semakin sedikit pula pekerja yang tahan terhadap guncangan ekonomi.
Pemerintah juga setengah hati dalam mengeluarkan kebijakan untuk mendorong sektor informal lebih maju. Tingginya suku bunga, kurang atau bahkan tidak ada payung hukum yang jelas, birokrasi yang carut-marut, dan korupsi yang masih merajalela adalah bentuk-bentuk kegagalan pemerintah dalam memberikan iklim investasi yang bersahabat.
Alhasil, Indonesia menjadi kurang diminati oleh para investor. Lapangan pekerjaan sulit bertambah. Pengangguran bertambah banyak. Jika hal ini terjadi terus-menerus dan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka kemiskinan struktural adalah muara dari itu semua.
Oleh karena itu, besar harapan penulis untuk pemerintahan SBY jilid 2 ini dalam pemberantasan kemiskinan struktural melalui cara yang struktural pula. Pemberantasan kemiskinan yang bukan hanya melalui kebijakan sesaat tetapi juga melalui kebijakan yang lebih sitematis dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Banyak perbedaan dalam menentukan standar kemiskinan. Hal ini dikarenakan intrepetasi atas kemiskinan pun sangat tergantung bagaimana kita melihat kemiskinan dari sudut pandang yang kita yakini. Pemerintah Indonesia menggunakan standar BPS yang jika kita bandingkan dengan standar kemiskinan berdasarkan World Bank atau Amerika pada tahun 1963, maka terlihat jelas terdapat disparitas yang cukup jauh antara standar kemiskinan di Indonesia dan standar kemiskinan di World Bank dan Amerika (1963).
Tingginya angka kemiskinan di Indonesia nampaknya sudah menjadi kemiskinan struktural yang telah berurat akar. Di sisi lain, tidak ada upaya yang serius dan berkelanjutan dari pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan struktural ini. Dalam menyelesaikan kemiskinan struktural ini, Pemerintah seharusnya melakukan kebijakan yang lebih komprehensif, sistematis, dan tidak bersifat sementara (temporarily) sehingga lambat laun kemiskinan di Indonesia bisa dapat dikurangi.
Daftar Pustaka
Basri, Faisal, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994).
Batubara, Marwan, et al., BLBI Ramai-ramai Merampok Negara. (Jakarta: Haekal Media Center, 2008).
Koran Kompas, edisi 20 Oktober 2009
Schiller, Bradley R.,The Economics of Poverty and Discrimination, 5th edition. (New Jersey: Prentice Hall, 1989).
Sen, Amartya, Poverty and Famines: An Essay On Entitlement and Deprivation (Oxford: Clarendon Press, 1982).
Sen, Amartya, Development As Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999).
Todaro, Michael P., Economic Development, 10th edition. (Edinburgh: Pearson Education, 2009).
Tomele, Dafit, "Menakar Efektifitas Program Pengentasan Kemiskinan serta Perspektif Baru dalam Mereduksi Kemiskinan di Indonesia Sebagai Sasaran Strategis untuk Mendorong Akselerasi Pembangunan Ekonomi Indonesia (Orientasi Pembangunan Ekonomi Indonesia)", makalah dalam Simposium Ekonomi Nasional FEUI, 13-14 Oktober 2009.
Undang-Undang Dasar 1945
Internet
[1] Lihat Kompas edisi 20/10/2009
[2] Lihat Dafit Tomele, "Menakar Efektifitas Program Pengentasan Kemiskinan serta Perspektif Baru dalam Mereduksi Kemiskinan di Indonesia Sebagai Sasaran Strategis untuk Mendorong Akselerasi Pembangunan Ekonomi Indonesia (Orientasi Pembangunan Ekonomi Indonesia)", makalah dalam Simposium Ekonomi Nasional FEUI, 13-14 Oktober 2009.
[3] Lihat Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 Pasal 34
[4] Lihat Marwan Batubara, Skandal BLBI : Ramai-Ramai Merampok Negara (Jakarta : Haekal Media Center, 2008), Hal. 276
[5] Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay On Entitlement and Deprivation (Oxford: Clarendon Press, 1982)
[6] Amarty Sen, Development As Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999).
[7] Marwan Batubara, Skandal BLBI : Ramai-Ramai Merampok Negara..., op. cit., hlm. 277.
[8] Y = C + I + G + ( X - M ),dimana : Y=GDP, I=Investasi, G=Government Expenditure, (X-M)= Net Expor
[9] Lihat lagi Tabel 2
[10] Asumsi yang digunakan dalam makalah kali ini adalah $1 sekitar Rp.9.500,-.
[11] Lihat Faisal Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994)
[12] Lihat Michael P. Todaro, Development Economic, 10th edition (Edinburgh: Pearson Education, 2009)
Lampiran
Kerangka Pikir
TINGKAT KEMISKINAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH
CASH TRANSFER
PROGRAM PENGEMBANGAN PRODUKTIVITAS
PENGURANGAN BEBAN
1. BLT
2. RASKIN
3. BPC4
4. GAJI -13
1. BOS
2. BANTUAN NELAYAN
3. P3KUM
4. PPP
1. JAMSOS
2.PERUMAHAN
3.PELAYANAN PUBLIK
4. KESTIS
KEMISKINAN
PERSPEKTIF / KEBIJAKAN BAR
AKSELERASI PEMBANGUNAN EKONOMI
PERSPEKTIF / KEBIJAKAN BARU
TINGKAT KEMISKINAN
1. BLT
2. RASKIN
3. BPC4
4. GAJI -13
5. BOS
6. BANTUAN NELAYAN
7. P3KUM
8. PPP
1. JAMSOS
2.PERUMAHAN
3.PELAYANAN PUBLIK
4. KESTIS
CASH TRANSFER
PROGRAM PENGEMBANGAN PRODUKTIVITAS
PENGURANGAN BEBAN
AKSELERASI PEMBANGUNAN EKONOMI
Tomele, Dafit. 2009. "Menakar Efektifitas Program Pengentasan Kemiskinan serta Perspektif Baru dalam Mereduksi Kemiskinan di Indonesia Sebagai Sasaran Strategis untuk Mendorong Akselerasi Pembangunan Ekonomi Indonesia (Orientasi Pembangunan Ekonomi Indonesia)". Makalah dalam Simposium Ekonomi Nasional, FEUI.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia dari Tahun 1996-2008
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin ( Juta )
Persentase Penduduk Miskin
1996
22,50
11,30
1997
34,01
17,47
1998
49,50
24,23
1999
47,97
23,43
2000
38,70
19,14
2001
37,90
18,41
2002
38,40
18,20
2003
37,30
17,42
2004
36,10
16,66
2005
35,10
15,97
2006
39,30
17,75
2007
37,17
16,58
2008
35,0
15,4
Sumber : Diolah dari data Survei Ekonomi Nasional (Susenas)
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu
Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009
No.
Status Pekerjaan Utama
2007 (Agst)
2008 (Feb)
2008 (Agst)
2009 (Feb)
1
Berusaha Sendiri
20 324 527
20 081 133
20 921 567
20 810 300
2
Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar
21 024 297
21 599 782
21 772 994
21 636 761
3
Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar
2 883 832
2 979 406
3 015 326
2 968 481
4
Buruh/Karyawan/Pegawai
28 042 390
28 515 358
28 183 773
28 913 118
5
Pekerja Bebas di Pertanian
5 917 400
6 130 481
5 991 493
6 346 122
6
Pekerja Bebas di Non Pertanian
4 458 772
4 798 856
5 292 262
5 151 536
7
Pekerja Keluarga/Tak Dibayar
17 278 999
17 944 841
17 375 335
18 659 126
Total
99 930 217
102 049 857
102 552 750
104 485 444
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 and 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H