Syarat binatang kurban bukan hanya gemuk, tidak cacat dan cukup umur atau gigi susunya berganti tetapi juga bukan jallalah, binatang yang memakan kotoran. Baik unta, sapi, kambing, ayam, angsa ataupun ikan andaikan memakan kotoran (tinja) termasuk binatang jallalah. Pelarangan terhadap binatang jallalah tidak hanya pada memakan dagingnya, meminum susunya, tetapi termasuk juga menunggangi (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 13 : 110-111). Sebutan jallalah hilang dan menjadi halal jika dalam waktu lama diberi makan yang suci.
Kotoran merupakan sisa makanan yang telah di ambil sari-sarinya dan di busukkan oleh bakteri usus besar. Bibit-bibit penyakit dalam tubuh juga keluar bersama kotoran. Karakteristik kotoran seperti ini bisa jadi menimbulkan mutasi genetik ataupun mutasi penyakit yang membahayakan kesehatan manusia.
Pada sisi lain berkurban haruslah dari rejeki yang halal. Berkurban dengan rejeki yang haram, suap, korupsi misalnya, disamping hanya formalitas dan jelas tidak diterima bisa jadi justru membuat pelaku kejahatan merasa nyaman dengan rejeki haramnya. Ini membuat pelaku semakin jauh dari kebenaran.
Kalau jallalah saja dilarang apalagi binatang yang diberi makan oplosan yang di peram selama 3 hari sehingga beraroma alkohol.Waluapun tidak diketahui kadar alkohol berapa persen, berkurban dari binatang seperti ini perlu di hindari. Kehalalannya perlu di proses dengan penggantian makanan yang suci.
Biasanya binatang yang di beri makan seperti ini gemuk abnormal dan rentan penyakit. Karenanya setelah program penggemukan sebelum 3 bulan binatang ini harus di panen. Dan bintang ini yang mulai marak diternakkan tentu tidak cocok untuk berkurban. Kurban harus halalan thayyiban. Halal dan baik bagi kesehatan jasmasi juga rohani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H