Mohon tunggu...
Dzoulfiqar Gani
Dzoulfiqar Gani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Negara Hadir Melindungi Korban Kekerasan Seksual

15 April 2022   14:06 Diperbarui: 15 April 2022   14:13 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu gender mungkin telah menjadi suatu hal yang sering ditemui oleh masyarakat di Indonesia. Namun, tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa hal tersebut merupakan suatu permasalahan yang sangat membutuhkan solusi kongkrit demi mengatasi berbagai permasalahan terkait isu gender tersebut. Isu gender yang dimaksud tentu dapat muncul dalam berbagai pola permasalahan, baik di tengah masyarakat atau bahkan di dalam keluarga sekalipun. Isu gender diyakini telah menjadi sebuah masalah sosial yang menahun karena minimnya perhatian pemerintah dalam menanggapi isu tersebut.

Permasalahan paling masif terkait isu gender ini tentu adalah terkait permasalahan kekerasan seksual. Masalah ini telah lama menjadi isu yang berkepanjangan dalam konteks kesejahteraan masyarakat. Predator seksual yang kian berani melancarkan aksinya tentu menjadi ancaman yang menakutkan bagi masyarakat, terutama bagi perempuan yang selama ini menjadi korban tindakan tak bermoral tersebut. 

Fenomena tersebut tentu membuat berbagai kalangan masyarakat resah dengan maraknya peristiwa kekerasan seksual tersebut, terlebih korban yang merasakan sulitnya mendapatkan keadilan yang sepadan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya menjerat pelaku kekerasan seksual akibat dari tidak adanya payung hukum yang dapat menjadi acuan untuk menjerat para pelaku kekerasan seksual tersebut. Beruntung keresahan masyarakat tersebut dapat ditanggapi serius oleh pemerintah dengan digagasnya sebuah rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual atau biasa disebut RUU PKS.

Rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual pertama kali digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban dan sekaligus mencegah tindakan kekerasan seksual. Namun, draf rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual baru dapat disusun pada tahun 2014 dengan melibatkan praktisi hukum dan juga aktivis dalam proses penyusunannya.

Proses penyusunan draf cukup memakan waktu hingga baru dapat diserahkan kepada pimpinan DPR RI pada tahun 2016. Tidak lama setelah draf diserahkan, RUU PKS telah disetujui untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, namun hingga tahun 2016 berakhir pun RUU PKS tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Puan Maharani yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pun mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS menjadi undang-undang.

Proses pembahasan RUU PKS di DPR RI baru dapat kembali menjadi Prolegnas Prioritas pada tahun 2018. Dalam proses pembahasn RUU tersebut, DPR melibatkan berbagai kalangan masyarakat yang diwakili oleh organisasi-organisasi masyarakat untuk turut membahas rancangan undang-undang tersebut. Hingga penghujung tahun 2018 pun RUU PKS masih saja belum menemui titik terang untuk disahkan menjadi undang-undang.

Memasuki tahun 2019, pembahasan RUU PKS kian menemui kendala yang cukup signifikan dengan maraknya pihak yang menolak RUU PKS untuk disahkan menjadi undang-undang. Penolakan terhadap RUU PKS didasari oleh berbagai alasan subjektif dengan mengaitkan RUU PKS dengan pelegalan seks bebas. Fraksi PKS pun turut menolak dengan tegas disahkannya RUU PKS karena dianggap terlalu memuat nilai liberalisme yang tidak sesuai dengan nilai pancasila, agama, dan budaya ketimuran Indonesia. Hal tersebut tentu menjadi salah satu penyebab sulitnya proses pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang. Penolakan tersebut kemudian diikuti oleh berbagai ormas dan tokoh agama dengan rasionalisasi yang hampir serupa dengan argumentasi penolakan dari pihak Fraksi PKS di DPR RI.

Memasuki tahun 2020 dengan berbagai wajah baru di tubuh DPR, RUU PKS ditarik dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 karena dianggap pembahasannya cukup rumit untuk dilakukan. Sehingga, RUU PKS baru dapat kembali masuk Prolegnas Prioritas 2021. Namun, memasuki tahun 2021 RUU PKS berganti nama menjadi RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dengan alasan agar dapat lebih mudah untuk melakukan penegakan hukum terkait dan agar terkesan lebih membumi. Proses pembasahan kemudian tetap dilakukan hingga kemudian pada 12 April 2022 RUU TPKS resmi ditetapkan menjadi undang-undang.

Dalam perjalanan penetapan UU TPKS menjadi undang-undang tentu tidak dapat dipisahkan dari partisipasi masyarakat dalam perumusannya, terutama terdapat andil yang sangat besar dari para korban kekerasan seksual yang selama ini telah berjuang dan menunggu untuk mendapatkan jawaban atas trauma psikologisnya di masa lalu. Adanya UU TPKS ini utamanya menyajikan hal yang telah lama dibutuhkan oleh aparat penegak hukum di Indonesia yaitu legal standing atau payung hukum untuk menjerat para pelaku kekerasan seksual. Yang mana sebelumnya para pelaku kekerasan seksual seringkali dijerat oleh pasal yang tidak berkaitan dengan perbuatannya, sehingga dibutuhkan pertimbangan yang lebih mendalam oleh aparat penegak hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun