TANPA suporter, pertandingan sepakbola menjadi hambar. Tapi, ketika suporter diperbolehkan masuk stadion lalu menjadi biang keributan, tentu merusak suasana pertandingan. Kapan suporter sepakbola Indonesia dewasa?
Keributan atau tawuran antarsuporter klub-klub sepakbola di Indonesia memang bukan cerita baru. 23 tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku SMP, bersama dua teman saya menyaksikan langsung pertandingan sepakbola Perserikatan PSSI antara dua klub yang tak bisa saya sebutkan. Pertandingannya menarik. Tapi, seusai pertandingan, bukan suasana menarik dan kegembiraan yang ada. Begitu keluar dari Stadion Utama Senayan (sekarang Stadion Utama Gelora Bung Karno), pecah tawuran antarsuporter. Batu, bambu, bahkan molotov berterbangan mencari mangsa. Aparat pun sigap menyemprotkan gas air mata demi memukul mundur suporter yang berbuat rusuh.
Berhasil menyelamatkan diri dari kawasan Parkir Timur Senayan, saya dan teman saya naik bus mengarah ke Blok M. Berpikir sudah selamat dari amukan suporter dari klub yang kalah, tiba-tiba lemparan batu memecahkan kaca bus yang saya tumpangi. Tak mau kepala jadi korban, tiarap di sela kursi bus menjadi satu keharusan. Alhamdulillah, saya dan kedua teman selamat dan tak terluka.
Kini, suasana serupa masih terjadi di sejumlah kota kala pertandingan sepakbola melibatkan klub-klub yang punya basis suporter besar dan militan dan punya sejarah permusuhan. Mungkin maksud kelompok suporter itu adalah mendukung tim kesayangan, tapi bentuk dukungannya yang salah. Mungkin maksudnya memberi tekanan kepada tim lawan, tetapi bentuk tekanannya salah karena lebih mirip teror.
Saya yakin, suporter sejati tak akan pernah mau menyakiti pemain lawan atau suporter tim lawan yang akan masuk stadion dengan menumpang bus atau bahkan panser. Suporter sejati tak akan berbuat onar yang berimbas pada hukuman atau sanksi bagi tim kebanggaannya sendiri. Suporter sejati tak akan melempar botol atau benda keras ke lapangan yang berpotensi melukai pemain atau perangkat pertandingan. Suporter sejati tidak akan menyanyikan lagu-lagu yang liriknya mengejek suporter lawan saat laga berlangsung. Suporter sejati tidak akan meneriakkan "Wasit go...." kala keputusan wasit merugikan timnya. Suporter sejati tentu juga ingin seluruh lapisan masyarakat, dari balita, anak-anak, perempuan, dan bahkan lansia, nyaman saat masuk, berada, dan keluar stadion.
Pertanyaannya, maukah suporter sepakbola Indonesia lebih dewasa dan menjadi suporter sejati? Atau memang lebih senang menjadi suporter-suporteran? Semoga, pilihan pertama yang diambil. Maju terus sepakbola Indonesia. Bersatu dan majulah suporter sejati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H