PESTA demokrasi lima tahunan, dalam hal ini pemilihan anggota legislatif dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), telah dilaksanakan Rabu (9/4). Yang membahagiakan saya bukan tak mempannya 'Jokowi Effect' atau manjurnya 'Rhoma Irama Effect', tetapi mulai melek politiknya jagoan kecil saya.
Pemilu, sejatinya bukan hanya menarik bagi mereka yang sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), simpatisan atau kader partai politik, pengamat politik, dan lembaga survei. Bagi sebagian anak-anak, dalam hal ini yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), pemilu juga sesuatu yang harus diketahui. Mau bukti?
Jika Anda datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) kemarin, bisa dipastikan ada sebagian di antara pemilih yang mengajak anak-anaknya. Alasannya tentu berbeda-beda. Pertama, terpaksa mengajak anak karena tak ada yang menjaganya di rumah. Kedua, ingin memberikan pendidikan politik secara dini. Meski sedikit 'mencederai' asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber), khususnya Rahasia, tetapi mengajak anak ke bilik suara menurut saya bukan sesuatu yang 'haram'.
Apalagi, setiap hari anak kita disuguhi tayangan iklan politik dari parpol dan tokoh-tokoh politik. Jangan heran kalau mereka tahu beragam tagline parpol atau tokoh politik yang sering nongol di televisi. Jadi, hari H pemungutan suara juga menjadi sesuatu yang anak-anak tunggu. Tak terkecuali jagoan kecil saya yang berumur 8,5 tahun.
Sejak pagi, dia sangat ingin menyaksikan langsung parpol atau caleg yang dicoblos kedua orangtuanya. Maka, setelah berada di TPS, berkali-kali dia menanyakan masih lamakah giliran orangtuanya nyoblos. Apesnya, ketika saya dan istri dipanggil petugas KPPS, jagoan kecil saya sedang bermain bersama temannya. Lima menit selesai mencoblos, muncullah jagoan kecil saya. Melihat jari ayah dan bundanya sudah berwarna ungu, tampang cemberut pun dipasang. Air mata ikut menetes dari kedua matanya. Beragam rayuan pun kami lakukan. "Nanti 9 Juli nyoblos lagi ya," kata saya. Tapi, tetap tak mempan.
Akhirnya, jurus pamungkas kami keluarkan. Mengajaknya ke restoran cepat saji favoritnya. Dia mau, meski masih dengan sedikit cemberut dan kecewa karena ketinggalan ke bilik suara. Singkat cerita, sampailah kami di restoran tersebut. Ketika istri memesan makanan, saya dan jagoan kecil menunggu. Wajah jagoan kecil tertuju ke layar televisi, yang menampilkan hasil hitung cepat (quick count). "Ayah, yang menang partai A (sengaja disensor ya, red), angkanya 19 persen," katanya. "Masak partai B (disensor lagi) cuma 1 persen," sambungnya.
Ketika makanan yang dipesan sudah datang, dia tak bisa fokus ke makanannya karena mata terus tertuju ke layar televisi. Begitu sampai di rumah pun dia terus mencermati pergerakan angka hasil hitung cepat, sambil sesekali memberitahu ayahnya. Dan, satu kalimat yang mencengangkan dan tak bisa saya lupakan dari berbagai ucapan yang dia sampaikan di hari pencoblosan kemarin adalah,"Banyak juga yang nggak suka sama Jokowi." Dalam hati saya berkata,"Kok bisa dia seia sekata dengan ayahnya." Mungkin ini yang disebut 'Ayah Effect'...hahaha
Teruslah melek politik, Nak. Meski ayah dan bundamu bukan politisi, jangan apatis dengan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H