Perhelatan akbar politik lima tahun sekali di Indonesia memang telah usai, para pemimpin terpilih pun telah dilantik. Masyarakat menyodorkan pundi-pundi harapan besar bagi mereka para khilafah terpilih demi mencapai tatanan the best of life for society. Sisa bau perbedaan politik memang masih tercium dan cukup menarik bila dikaji anak-anak muda pecinta perpolitikan Indonesia. Bukan lagi tentang anak Jokowi mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota Solo, tapi saat ini sorot lampu politik menyala teruntuk Ketua  Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yakni Puan Maharani. Bukan persoalan Puan Maharani anak ataupun cucu pesohor negeri ini, dilihat dari kacamata gender Puan Maharani merupakan perempuan pertama yang dinobatkan sebagai Ketua DPR RI di Indonesia.
Saya teringat tulisan Pradewi Iedarwati dalam artikelnya berjudul Ayat-Ayat Pancasila Dalam Tafsir Perempuan menjabarkan bahwa penyelenggaraan negara sebagai bagian dari proses berbangsa dan bernegara tidaklah ramah terhadap perempuan sebagai warga bangsa. Terpilihnya Puan Maharani seolah membuka tabir bagi perempuan Indonesia khususnya politisi perempuan di berbagai fraksi supaya lebih berani meneriakkan dan membasmi permasalahan kaum perempuan baik di bilik ekonomi hingga kekerasan pada perempuan. Tak bisa dipungkiri ranah politik sebagai dominasi maskulin sampai detik ini. Betul memang sudah ada kuota 30 persen bagi perempuan di kancah politik, namun timbul masalah ketika perempuan yang memenuhi kuota tersebut dibuat sebatas ajang formalitas saja. Asal partai politik bisa maju di parlemen namun tidak memperhatikan kualitas dari anggota parpol perempuannya.
Dalam bukunya Mizbah Zulfa, Resistensi Perempuan Parlemen Perjuangan Menuju Kesetaraan Gender; beliau menuliskan narasi politik merupakan public sphere dan dunia kaum lelaki tetapi menjadi medan sangat berat untuk dimasuki kaum perempuan. Pada pemilu 2019, jumlah pemilih laki-laki mencapai 92.802.671 sedangkan pemilih perempuan 92.929.422 terlihat jelas pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Tapi kenapa di senayan politisi laki-laki menguasai banyak kursi ketimbang politisi perempuan? Seharusnya, bila pemilih perempuan sadar bahwa kebertubuhan perempuan itu hanya perempuan sendiri yang tahu bukankah semustinya senayan dikuasai srikandi ibu pertiwi? Apakah para politisi laki-laki akan ikut menyuarakan isu mengenai stop kekerasan dalam rumah tangga? Stop kekerasan seksual pada anak? Hak libur haid di perusahaan? Ataupun permasalahan dilingkar kehidupan perempuan? Kenapa perempuan tidak memilih politisi perempuan saat pemilu kemarin?
Di era ini, peluang emas bagi para politisi perempuan Indonesia untuk mengutamakan kepentingan kaum hawa serta memperjuangkan keterwakilan mereka apalagi Ketua DPR RI sekarang adalah seorang perempuan. Kondisi terkini, perempuan mudah dimasukkan ke parpol tapi jangan pula sekadar pelengkap atau perhiasan parpol semata. Parpol berkewajiban membina, mendidik anggota partainya agar berbenah secara maksimal demi peningkatan kualitas kader. Sayangnya, terkadang demi tercapainya 30 persen tersebut parpol buru-buru main comot perempuan hanya semata formalitas. Atau mungkin perempuan itu mempunyai popularitas serta "isi tas", bukan ditilik karena kapasitas kualitas maupun integritas. Maka dari itu perlu adanya gebrakan baru khusus perempuan di ruang politik, yaitu pembentukan Partai Politik Perempuan bukan P3 ya.
Pembentukan partai politik perempuan ini sebagai salah satu bentuk ijtihad politik perempuan, dimana seluruh anggota parpolnya wajib perempuan. Meskipun di Indonesia parpol beranak pinak tapi tetap saja parpol di dominasi laki-laki sehingga isu perempuan tidak terlalu digubris. Nyatanya masih saja banyak kasus-kasus yang merugikan kaum perempuan. Pembentukan parpol perempuan pun diharapkan mewadahi kekritisan perempuan dalam menyuarakan hak-hak mereka serta mencetak para pemimpin perempuan yang unggul, berani, tegas, bertindak cepat di wilayah politik. Pada akhirnya apa yang membedakan parpol perempuan dengan parpol lainnya? Tentu saja esensi penerapan politik itu sendiri, dimana parpol khusus perempuan menggunakan etika politik rahim.
Bila alam dibenturkan dengan perempuan maka lahirlah ekofenisme, maka perempuan disatukan bersama politik lahirlah sebuah etika politik rahim. Etika ini diandaikan tubuh reproduksi perempuan itu merawat kehidupan, peduli pada kehidupan, tidak menyakiti satu sama lain untuk mengimbangi dominasi etika politik laki-laki yang mungkin serba main libas. Perumpamaan mudahnya kita ada berkat rahim di tubuh ibu kita, tubuh seorang perempuan. Berkat politik peduli ibu kita yang mempertaruhkan nyawanya demi kita. Politik rahim dari parpol perempuan ini mengangkat kepedulian daripada persaingan sebab kepentingan publik adalah kepentingan bersama, terutama kepentingan kalangan perempuan. Tentu saja parpol perempuan sebagai cerminan perjalanan politik yang merawat dan mempertahankan kehidupan bagi banyak manusia ketimbang tunduk pada eksploitasi penghancuran daya hidup.
Jangan lupa berpolitik dengan santuyyyy ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H