Catatan :
Bahasan diekstrak dari buku 21 Lesson - Harari.
-
Sebenarnya, manusia selalu hidup di era pasca-kebenaran. Homo Sapiens adalah spesies pasca-kebenaran, yang kekuatannya bergantung pada penciptaan dan keyakinan pada fiksi. Sejak Zaman Batu, mitos yang memperkuat dirinya secara mandiri telah berfungsi untuk menyatukan kolektif manusia. Memang, Homo Sapiens menaklukan planet ini berkat kemampuan manusia yang unik untuk menyebarkan dan menciptakan fiksi. Kita adalah satu-satunya mamalia yang dapat bekerja sama dengan banyak orang asing karena hanya kita yang dapat menceritakan cerita fiksi, menyebarkannya, dan meyakinkan jutaan orang lain untuk mempercayai mereka. Selama semua orang percaya pada fiksi yang sama, kita semua mematuhi hukum yang sama, dan karenanya dapat bekerja sama secara efektif.
Jadi jika anda menyalahkan Facebook, Trump, atau Putin karena mengantarkan era pasca-kebenaran yang baru dan menakutkan, ingatkan diri anda bahwa berabad-abad yang lalu jutaan orang Kristen mengunci diri di dalam gelembung mitologi yang memperkuat jejaringnya sendiri, tidak pernah berani mempertanyakan kebenaran faktual dari Alkitab, sementara jutaan umat Islam menaruh keyakinan mereka yang tidak perlu dipertanyakan dalam Al-Qur’an. Selama berabad-abad, banyak dari apa yang berlalu-lalang sebagai ‘berita’ dan ‘fakta’ dalam jejaring sosial manusia adalah cerita tentang mukjizat, malaikat, iblis, dan penyihir, dengan wartawan yang berani memberikan liputan langsung dari lubang terdalam di dunia antah-berantah.
Kita tidak memiliki bukti ilmiah bahwa Hawa tergoda oleh Ular, bahwa jiwa semua orang kafir terbakar di neraka setelah mereka mati, atau bahwa pencipta alam semesta tidak menyukainya ketika seorang Brahmana menikahi orang dari kasta Paria, namun anehnya miliaran orang telah percaya pada kisah-kisah ini selama ribuan tahun. Beberapa berita palsu bertahan selamanya.
Saya sadar bahwa banyak orang mungkin kesal karena saya menyamakan agama dengan berita palsu, tapi itulah intinya.
“ Jika ribuan orang percaya pada informasi palsu yang dikarang-karang bertahan selama kurang lebih satu bulan, kita sebut itu hoax atau berita palsu; tapi jika miliaran orang percaya pada informasi palsu atau cerita yang dikarang-karang selama ribuan tahun, kita menyebutnya Agama. ”
Dan tentunya kita dinasihati untuk tidak menyebutya sebagai ‘berita palsu’ agar tidak menyakiti perasaan orang beriman (atau menimbulkan kemarahan mereka). Perhatikan, bagaimanapun, bahwa saya tidak menyangkal efektivitas atau potensi kebajikan agama. Justru sebaliknya. Untuk lebih baik atau lebih buruk, fiksi adalah salah satu alat yang paling efektif dalam seperangkat alat kemanusiaan. Dengan menyatukan orang-orang, kredo agama membuat kerja sama manusia skala besar menjadi mungkin. Mereka menginspirasi orang untuk membangun rumah sakit, sekolah dan jembatan di samping tentara dan penjara. Adam dan Hawa tidak pernah ada, tetapi Katedral Chartres masih berdiri megah. Banyak dari Kitab Suci mungkin fiksi, tetapi masih bisa membawa sukacita bagi miliaran dan masih dapat mendorong manusia untuk menjadi welas asih, “berani dan kreatif” sama seperti karya fiksi hebat lainnya, seperti Don Quixote, War and Peace, dan Harry Potter.
Sekali lagi, beberapa orang mungkin tersinggung dengan perbandingan saya antara Alkitab dengan Harry Potter. Jika anda adalah seorang Kristen yang berpikiran ilmiah, anda dapat menjelaskan semua kesalahan, mitos, dan kontradiksi dalam Alkitab dengan menyatakan bahwa kitab suci tidak pernah dimaksudkan untuk dibaca sebagai suatu laporan faktual, melainkan sebuah kisah metafora yang mengandung kebijaksanaan yang dalam. Tapi bukankah itu juga berlaku sama pada Harry Potter ?
Jika anda adalah seorang Kristen fundamentalis, anda akan cemderung bersikeras bahwa setiap kata dalam Alkitab secara harfiah itu benar. Mari kita berasumsi sejenak bahwa anda benar, dan bahwa kitab suci anda adalah yang sempurna dari satu Tuhan yang sejati. Lalu, apa yang anda lakukan dengan Al-Qur’an, Talmud, Kitab Mormon, Weda, Avesta, dan Kitab Orang Mati Mesir ? Bukankah anda tergoda dan ingin mengatakan bahwa teks-teks ini adalah fiksi yang rumit yang dibuat oleh manusia (daging-dan-darah) atau mungkin oleh setan ? dan bagaimana anda melihat Keilahian para kaisar Romawi seperti Augustus dan Claudius? Senat Romawi mengklaim memiliki kekuatan untuk mengubah manusia menjadi dewa, dan kemudian mengharapkan rakyat imperium untuk menyembah dewa-dewi ini. Bukankah itu sebuah fiksi ? Memang, kita memiliki setidaknya satu contoh dalam sejarah dewa palsu yang mengakui fiksi dengan mulutnya sendiri.