Peristiwa pembunuhan di Sampang, Madura, yang diduga terkait dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah gambar tragis dari bagaimana demokrasi lokal di Indonesia berfungsi. Fakta bahwa Pilkada seringkali memicu perselisihan menunjukkan krisis mendasar dalam sistem politik, budaya masyarakat, dan institusi negara, padahal demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memungkinkan diskusi, keadilan, dan perubahan. peristiwa ini tidak hanya merupakan kasus kriminal tetapi juga merupakan masalah sosial-politik yang lebih kompleks dan sistemik yang memerlukan perhatian khusus.
Kasus di Kabupaten Sampang menunjukkan bagaimana politik lokal di Indonesia sering digunakan untuk melanggengkan kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak kali, politik lokal diwarnai oleh dinamika feodalisme kontemporer, di mana kandidat atau kelompok politik yang berkuasa mengeksploitasi hubungan patron-klien untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Kekerasan digunakan sebagai cara untuk menunjukkan dominasi atau membalas dendam atas hasil Pilkada yang tidak adil. Pertanyaan yang muncul: Apakah ini semata-mata fenomena lokal, ataukah gejala sistemik dari demokrasi Indonesia? Pola kekerasan ini menunjukkan bahwa politik kita masih terpengaruh oleh praktik premanisme yang diwariskan dari tradisi politik otoriter sebelumnya. Tidak ada penghormatan terhadap hukum, budaya politik transaksional, dan kekurangan pengawasan negara menciptakan lingkungan yang subur untuk konflik seperti ini.
Konflik horizontal yang sering terjadi selama Pilkada tidak diantisipasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Identitas tradisional seperti agama, suku, dan keluarga besar terus memengaruhi pilihan politik di wilayah seperti Sampang. Dalam situasi ini, politik identitas tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memobilisasi massa, tetapi juga dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang berpotensi mengarah pada kekerasan. Kasus di Kabupaten Sampang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mendorong integrasi politik dan sosial yang baik. Di mana pemerintah dan penyelenggara pemilu berada dalam hal menjamin proses demokrasi yang damai dan adil? Pilkada akan terus menjadi tempat untuk eksploitasi politik identitas dan kekerasan jika tidak ada kebijakan yang berfokus pada pencegahan konflik dan edukasi politik.
Selain itu, kejadian ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, gagal menanamkan prinsip-prinsip demokrasi substansial. Pendidikan politik yang kritis dan rasional sering kali tidak tersedia bagi masyarakat yang terjebak dalam fanatisme
politik. Mereka mudah terpengaruh oleh narasi populis atau masalah emosional yang dilontarkan oleh para politisi. lembaga pendidikan tinggi juga memiliki peran strategis dalam memberikan literasi politik kepada masyarakat, khususnya di daerah seperti Sampang. Namun, perhatian institusi terhadap masalah masyarakat di luar sering kali menghalangi mahasiswa dan akademisi untuk berpartisipasi dalam masalah lokal.
Selain itu, konflik yang terjadi selama Pilkada di Kabupaten Sampang menunjukkan bahwa demokrasi kita telah dirusak oleh kepentingan kelompok tertentu. Pilkada, yang seharusnya memungkinkan perlombaan ide dan gagasan, sekarang berubah menjadi pertarungan kekuatan antara kelompok berkuasa yang bersaing untuk kekayaan. Dalam proses ini, kepentingan rakyat hampir selalu diabaikan. Sebagai contoh, konflik seperti ini sering disebabkan oleh janji politik yang tidak terpenuhi atau tuduhan bahwa hasil Pilkada dimanipulasi. Seberapa sering konflik politik di Indonesia berakhir dengan kekerasan daripada proses hukum? Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak percaya pada institusi hukum dan penyelenggara pemilu, yang seharusnya berfungsi sebagai penengah dalam perselisihan politik.
konflik seperti ini merupakan sinyal bahaya yang memerlukan tindakan cepat dari semua pihak. Apakah kita akan membiarkan politisasi identitas dan kekerasan terus merusak sistem politik kita atau kita akan memilih untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan? Bagi semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, akademisi, dan tokoh- tokoh, untuk bekerja sama demi membangun demokrasi yang substansial dan tidak hanya prosedural. Ini karena demokrasi sejati tidak akan pernah muncul dari kekerasan, tetapi dari percakapan, kerja sama, dan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H