Benjang Gulat.
Indonesia terdiri atas beberapa keberagaman kebudayaan yang dimana kebudayaan tersebut tersebar di beberapa wilayah yang ada di Indonesia. Keberagaman kebudayaan tersebut tentunya tidak hanya terdiri atas satu jenis saja, akan tetapi terdiri dari beberapa jenis kebudayaan yang salah satunya adalah kesenianKesenian Benjang menjadi salah satu kesenian yang mempunyai peranan khusus di daerah Ujung Berung. Benjang Gulat menjadi salah satu bentuk awal dari adanya kesenian Benjang yang terdapat di beberapa wilayah yang ada di daerah Bandung. Seiring berjalannya waktu, kesenian Benjang berkembang menjadi tiga jenis, yaitu Benjang Gulat, Benjang Helaran, dan Topeng Benjang.
Benjang Gulat adalah kesenian bela diri tradisional yang berada di wilayah Ujung Berung. Kesenian Benjang Gulat tersebut menjadi salah satu kesenian yang populer dan menjadi salah satu jenis kesenian masyarakat yang dilaksanakan dengan menggabungkan bela diri dengan tari. Pada saat pelaksanaan pertunjukannya, Benjang Gulat biasanya dipandu dengan berbagai macam alat musik seperti bedug, terompet, kendang, dan lain-lain.
Berkenaan sejarahnya, diperkirakan kesenian Benjang ini sudah ada sejak abad ke 19 sebagai sebuah permainan yang dilakukan tepatnya di bale yang disebut sebagai sasamben oleh para bujang yang memiliki arti yaitu anak lelaki atau budak perkebunan kopi. Maka dari itu, kesenian tersebut diberi nama sasamben budak bujang atau disingkat menjadi Benjang. Awal abad ke- 20 seni benjang digabungkan dengan seni terebangan atau seni musik beraliran Islam yang memainkan terebang, yaitu sejenis rebana sebagai alat musiknya dan seni gedut, seni beladiri hasil pengembangan dari seni rudat, sehingga berkembang menjadi seni beladiri yang dimainkan di pekarangan rumah, sawah atau tanah lapang. Untuk saat ini, kesenian benjang berubah menjadi kesenian sebagai ajang silaturahmi antar warga. Maka tahun 1923, seni ini berkembang menjadi seni pertunjukan gulat tradisional yang dinamakan Benjang Gelut, yang memiliki arti yakni berkelahi.
Seni Benjang Gelut ini biasanya dilaksanakan tepatnya pada malam hari, hal tersebut dikarenakan pada siang hari harus dilakukan terlebih dahulu wawaran/pemberitahuan. Wawaran dijalankan dengan cara memukul waditra (alat musik benjang) yang berada di sekitar lokasi yang akan dijadikan tempat pertunjukan, terutama di tempat hajatan khitanan anak dan pernikahan. Bentuk dari wawaran tersebut pada nantinya dilaksanakan dengan cara berkeliling kampung dengan diiringi beberapa properti seni lain, seperti kuda lumping, bangbarongan (salah satu seni barong) dan kesweh (dua orang yang berperilaku seperti kakek dan nenek dengan mengenakan topeng terbuat dari kertas).
Pada tahun 1938, seni benjang berkembang ke bentuk seni arak-arakan yang biasa disebut dengan Benjang Helaran yang berfungsi sebagai kegiatan untuk mengarak anak khitan. Pada masa durasi waktu pertunjukkan antara Benjang Helaran menuju ke Benjang Gelut, terdapat jeda waktu begitu panjang. Karena itu seniman benjang helaran mulai mengembangkan seni benjang bentuk lain, yakni seni “Tari Topeng Benjang”. Itu terjadi pada tahun 1941.
Tahun 1955 sampai dengan tahun 1965, adalah jaman keemasan seni benjang. Waktu itu seni benjang dimainkan 24 jam penuh, dari Benjang Helaran (pagi), ke Topeng Benjang (sore), hingga Benjang Gelut (malam sampai menjelang subuh). Bahkan Tari Topeng Benjang berkembang menjadi pertunjukkan sandiwara tradisional. Saat ini seni Benjang tidak dimainkan lagi menjadi suatu pertunjukkan yang utuh, karena alasan ekonomis.
Kesenian Benjang merupakan salah satu kesenian yang pada dasarnya perlu dilestarikan dan diperkenalkan oleh masyarakat. Tentunya kesenian Benjang ini menjadi salah satu warisan budaya yang harus terus dilaksanakan mengingat kesenian ini menjadi salah satu peninggalan leluhur yang masih ada sampai saat ini. Memperkenalkan dan melestarikan kesenian Benjang pada hakikatnya perlu dilakukan mengingat di zaman sekarang masyarakat, terutama generasi anak muda lebih banyak mengetahui kebudayaan barat ketimbang kebudayaan wilayah mereka sendiri. Melestarikan dan memperkenalkan kesenian Benjang bermanfaat demi terciptanya keberlangsungan dari kesenian Benjang itu sendiri agar terus ada sampai masa yang akan datang, terlebih kesenian Benjang ini sudah menjadi kesenian yang tercantum dalam Warisan Budaya Tak Benda yang ditetapkan oleh Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2019.
Sumber Rujukan:
Hidayat & Marliana, Lina. (1991). Seni Benjang Mekar Jaya. Bandung: ASTI.
Irmadani, D. (2018). Perkembangan Seni Beladiri Gulat Benjang Di Ujung Berung Tahun 2000-2015. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.