Matahari belum beranjak cukup tinggi saat angkot oranye itu memasuki halaman parker PKM Joglo Pleburan. Tim caving, yang terdiri dari aku, Iim, Brillian, Ayudha, dan Tahmida, bergegas menyambutnya dengan menaikkan barang – barang kami ke dalamnya. Setelah sholat subuh, segera kami naik angkot yang akan membawa kami ke Desa Kemadohbatur, Grobogan. Perjalanan kami, yaitu Pengembaraan Masa Bakti WAPEALA Undip Lapis XXXIII pun dimulai.
      Dingin pagi tidak membuat semangat kami surut, walapun selama di angkot kami habiskan waktu untuk tidur, pembalasan atas sedikitnya waktu tidur kami malam sebelumnya. Di tengah perjalanan, kami membeli sarapan untuk dimakan sesampainya kami di tujuan. Sampai di Rumah Pak Loso, tempat hunian kami selama di sana, berbasa – basi sebentar, lalu bergegas mengeluarkan barang – barang dari angkot. Rumah Pak Loso cukup besar dengan ruang tamu yang luas menjadi alasan kami untuk memilih menginap di sana, selain karena rekomendasi Pak Kepala Desa. Tak lama setelah sarapan, wearpack sudah menempel di masing – masing tubuh kami, dan sembari menunggu perlengkapan mapping disiapkan oleh Ayudha, yang lain menyiapkan roti, susu, dan air minum untuk bekal makan siang kami. Tak lupa kami melakukan pemanasan yang wajib dilakukan sebelum kegiatan apapun untuk menghindari terjadinya keseleo, kram, terkilir dan meminimalisir terjadinya kecelakaan selama kegiatan.
      Gua pertama yang jadi tujuan kami adalah Gua Gajah. Disebut Gua Gajah karena ukuran lorong guanya yang luas dan lebar. Gua ini belum banyak terjamah oleh orang awam, dapat dilihat dari masih banyak ornamen hidup yang melekat di dinding atau dasar gua. Namun sayangnya gua ini dijadikan lokasi tambang fosfor bagi warga sekitar, dan beberapa bagian gua dijadikan tempat untuk pembuangan sampah. Gua Gajah menurut kami merupakan gua yang cukup mudah untuk dipetakan, hanya saja lorong guanya lumayan panjang dan akan butuh waktu lebih dari sehari untuk memetakan seluruh isi gua Gajah. Karena hari sudah larut sore dan target kami tidak akan mapping lebih dari jam 5, maka kami memutuskan untuk menyudahi mapping kami pada hari itu. Alhasil, kami hanya melakukan eksplore sampai ujung gua Gajah.
      Kembali ke rumah Pak Loso, kami segera membersihkan diri dan membereskan perlengkapan mapping. Antri mandi adalah hal yang paling menyebalkan menurutku, walaupun sudah diberi jatah 10 menit tiap orang, namun tetap saja cewek tidak akan bisa mandi dengan cepat. Setelah semua bersih dan wangi, kami membagi tugas untuk masak makan malam. Kai dimudahkan dengan diizinkannya menggunakan fasilitas dapur milik Bu Loso untuk memasak. Bayangkan jika kami harus menggunakan kompor spiritus atau kompor gas portable, pasti akan memakan waktu sangat lama hanya untuk menggoreng tempe. Akhirnya saat yang paling dinanti tiba, yaitu makan malam. Apa yang lebih membahagiakan dari masak masakan enak yang dimakan sendiri?
      Evaluasi dan briefing menjadi penutup kegiatan kami hari itu. Evaluasi hari itu adalah kami kurang gercep (gerak cepat) sehingga kegiatan tidak sesuai rundown acara, namun untungnya kegiatan kami pada hari itu tetap berlangsung dengan baik. Pembagian tugas saat ISHOMA juga diperlukan untuk menghindari mandi dan masak yang lama.
      Adzan subuh membangunkan kami dan menjadi pengingat untuk segera memulai hari. Selepas sholat subuh kami  masak dan sarapan, tanpa mandi karena udara dan air pagi hari di Kemadohbatur sangat menusuk tulang dan kami tidak mau membuang waktu untuk antri mandi. Lekas kami memakai wearpack, menyiapkan alat mapping, menyiapkan bekal makan siang, dan melakukan pemanasan.
      Gua kedua tujuan kami adalah Gua Pawon yang letaknya tidak jauh dari Gua Gajah. Cukup berjalan sepuluh menit dari rumah Pak Loso, dan voila sampailah kami di entrance gua Pawon. Entrance gua Pawon sudah tidak alami karena terdapat bekas gembok dan gerbang buatan manusia. Gua Pawon adalah gua yang membuatku jatuh hati sekaligus setengah benci. Kenapa? Gua ini penuh dengan ornament hidup yang sangat memukau, juga terdapat aven atau jendela gua yang menjadi sumber cahaya di tengah gelap abadi dalam gua. Sebalnya, karena gua ini masih hidup lantai guanya yang menyerupai tanah liat menjadi seperti lumpur hisap. Sepatu boots kami yang jadi korban keganasan lumpur hisap ini. Selain itu ada mitos yang beredar di masyarakat sekitar mengenai gua Pawon bahwa dulunya gua ini digunakan sebagai tempat pembuangan mayat pada jaman G30SPKI. Dinding gua Pawon terdapat beberapa bekas vandalisme yang membuat kami berkesimpulan dulunya gua ini adalah gua wisata. Gua Pawon juga bekas lokasi tambang yang membuat lorongnya berlubang sana – sini, menjadikan kami cukup sulit untuk memetakan gua ini. Karena panjangnya gua dan waktu kami yang tidak cukup, kami memutuskan untuk menelusuri sampai ujung gua.
      Hari kedua cukup melelahkan bagiku. Aku dan Ayudha memutuskan untuk mandi di masjid, menghindari lamanya antrian kamar mandi dan mengantisipasi waktu yang terbuang percuma. Setelah itu kami masak, menikmati masakan kami sendiri, dan dilanjut dengan evaluasi. Evaluasi masih ditekankan pada waktu kegiatan kami yang belum bisa menyamai rundown acara akibat terlalu lama istirahat siang dan persiapan alat mapping. Namun setidaknya hari ini aku merasa kami lebih baik dari kemarin. Setelah evaluasi, Iim berbaik hati membuatkan masing – masing segelas coklat panas untuk kami sebagai pengantar tidur.
      Esoknya semangat kami meluap karena hari itu merupakan hari terakhir kami menelusuri dan memetakan gua di daerah Kemadohbatur. Gua terakhir yang kami kunjungi adalah Gua Landak. Gua ini letaknya paling jauh dibandingkan gua yang lain, perlu perjalanan sekitar 30 menit menyusuri ladang jagung. Karenanya kami membawa bekal makan siang lebih banyak dari kemarin. Dari tiga gua yang telah kami telusuri, hatiku tertambat pada indahnya ornament gua Landak yang masih hidup dan alami, belum banyak terjamah tangan manusia. Gua terakhir ini berhasil kami petakan sampai ujung, rasanya puas sekali. Kami berjalan kembali ke rumah Pak Loso dengan mendokumentasikan perjalanan pulang kami: wearpack kotor penuh lumpur, headlamp dan senter terpasang di helm, sepatu boots kotor penuh lumpur, dan muka lelah penuh keringat campur lumpur. Namun kebahagiaan tetap tercermin di wajah kami.
      Sorenya kami bergegas mandi, masak dan makan malam. Packing akhir kami terlalu terburu – buru dan sedikit berantakan karena ternyata angkot yang menjemput kami sudah datang. Empat jam perjalanan pulang terasa amat singkat karena kami lalui dengan tidur lelap. Sampai di PKM, segera kami mengeluarkan alat dan mencuci alat.
      Tiga hari di Kemadohbatur terasa amat singkat mengingat indahnya gua dan ornament yang telah kami susuri, keramah tamahan warga desa Kemadohbatur, kesederhanaan warganya yang tidak segan – segan menawari untuk mampir ke rumah mereka ketika kami lewat, sejuknya udara desa yang melegakan pernafasan, dan memukaunya pemandangan ladang jagung. Banyak pelajaran yang dapat kami petik dari sini, dan membuat kami bersyukur serta merasa semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H