Mohon tunggu...
Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan Mohon Tunggu... Pemerhati Pendidikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dongeng Kakek Tua Tentang Dahlan, Tamu dan Tuan Rumah

16 September 2015   18:52 Diperbarui: 17 September 2015   10:11 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika aku masih duduk dibangku sekolah dasar, Dahlan kecil sedang asik bermain dengan kakek tuanya yang hidup di tiga zaman yang mungkin sangat berat bagi dirinya yang tidak berpendidikan formal. Sebelumnya melanjutkan cerita ini, Dahlan yang dimaksud bukanlah Dahlan yang terkenal akan sepatunya dan pernah menjadi salah satu petinggi negeri ini hanya saja seperti orang kebanyakan Dahlan ini juga punya mimpi jadi petinggi di negeri yang katanya bertuan.

Kakekku adalah seorang tukang cukur dengan penghasilan pada tahun 1978 mampu membeli rumah hanya dari hasil cukur dan penghasilan dari mengajar mengaji di salah satu kampung di Makassar. Kala itu kakek tuaku yang hanya menempuh sekolah rakyat sekedar mengikuti program pemberantasan buta huruf mendapat tawaran dari sekolah menengah atas milik lembaga swasta terbesar di Indonesia sebagai pengajar tetap untuk bidang baca tulis Al-Qur'an. Sebuah Ironi di negara besar seorang tamatan SR mendapat kesempatan berbagi ilmu di sekolah menengah, Seolah ijazah adalah sebuah kertas bertulis yang tidak memiliki arti diatas keterampilan yang dimiliki oleh individu. Pada saat bersamaan pekerjaan sebagai tukang cukur dan guru mengaji dianggap oleh kakek tua itu lebih layak dari segi penghasilan.

Seiring dengan waktu, pada tahun 1990 kondisi administrasi negara yang semakin baik, berangsur-angsur roda kehidupan berputar. Pekerjaan menjadi Pegawai kantoran baik itu sipil maupun perusahaan menjadi jauh lebih baik. Ijazah mulai dijadikan acuan dalam proses penerimaan seolah menjadi wakil dari individu yang namanya tertera di kertas yang kadang menjadi makanan utama dari rayap lemari. 

Kakek tuaku berdongen tentang pendidikan seolah dia paham mengenai pendidikan. Ku ingat kata yang terngiang sekolah lah "Ahmadong", panggilang akrab suku bugis untuk cucunya dengan menambahkan imbuhan "dong" dibelakang nama, sekolahlah yang tinggi biar bisa jadi menteri, biar bisa jadi gubernur, biar bisa jadi tukang insinyur. Dahlan kecil yang begitu percaya akan neneknya hanya mendengar dan melaksanakan. Dahlan kecil membalas kata-kata kakek tua tukang cukur dengan prestasi yang kuanggap sebagai langkah awal untuk menjadi menteri, gubernur atau tukang insinyur.

Saat ini tahun 2015, 18 tahun yang lalu aku teringat dongeng dari kakek tua yang saat masih tidur diperbaringannya karena renta dan termakan usia namun tak kunjung aku jadi menteri, gubernur atau tukang Insinyur. Saat ini saat aku sudah sekolah lebih tinggi dari kakekku yang SR dan juga teman-temanku yang sama seperti diriku. Menyandang satu dan dua gelar di belakang nama masing-masing, namun Dahlan yang dulu kecil masih menghadapi sebuah ketakutan.

Dahlan ratusan teman seperti Dahlan dengan beberapa gelar tambahan seolah tak berarti. Mungkin Indonesia kembali ke Jaman 30 tahun yang lalu pada saat kakek tua Dahlan yang tidak berijazah mampu mendapat tawaran. Namun ada suatu yang mengherankan, Jika saja ini adalah 30 tahun yang lalu harusnya akau sudah jadi Pemimpin di bangsa ini. Apa daya, jaman berubah tidak seperti roda kata orang-orang. Kulihat Roda itu berputar tapi tidak kepihakku atau teman-temanku.

Kubaca miris di beberapa media, Kulihat di sana manusia dengan tampang berbeda, kulit berbeda, dari tempat yang jauh ingin menjadi tuan dari sebuah rumah yang rapuh ini. Tidak bermaksud rasis, tapi apadaya. Apakah anak dari sang tuan rumah begitu rapuh sehingga hanya boleh bertaruh untuk menjadi menteri, gubernur atau tukang insinyur yang ternyata, ah sudahlah... Dahlan yang dulu kecil masih sedang membangun mimpi dari kakek tua yang saat ini masih terbaring karena renta. Meskipun kini mimpi itu telah berubah, paling tidak si Dahlan sedang berjuan mencari tempat di rumah ini untuk sekedar bersanding dengan Tamu alih-alih mendapat pengakuan dari sang tuan rumah meskipun si Dahlan tidak menjadi Menteri, Gubernur atau tukang Insinyur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun