Mohon tunggu...
Dzar Al Giftar
Dzar Al Giftar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa sedikit gabut, bukan pemalas tapi sedang menjalankan mode hemat energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengidealkan Oposisi Tanpa Bahasa Kemunafikan

20 April 2023   23:55 Diperbarui: 20 April 2023   23:59 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

B. Mengidealkan Oposisi di Indosesia

Pascapemilu 2019 agaknya hanya dua partai yang tetap konsisten untuk tetap menjadi oposisi, yakni Demokrat dan PKS, partai Gerindra yang sebelumnya berada di luar pemerintahan ternyata masuk pemerintahan untuk menjadi bagian dari rejim dengan ketua umumnya Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Mentri Pertahanan[14]

Hal tersebut tentunya mendapat reaksi keras dari pelbagai pihak baik dari kalangan[15] namun ia menyampaikan bahwa apa yang menjadi pilihannya semata-mata untuk bangsa dan negara. Jika ditilik dalam teori oposisi, tentunya pilihan Prabowo tersebut adalah sesuatu yang dinilai keluar dari jalur, dan secara demokrasi tentunya tidak sehat[16]. 

Oposisi Indonesia pada hari ini pun tidak memiliki banyak suara di parlemen, hal ini menyebabkan jika suatu keputusan tidak dapat diambil secara musyawarah untuk mufakat maka akan diambil secara voting, maka selama itu pula oposisi tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap kebijakan pemerintahan[17]

Itu itu diperlukan peran civil society sebagai motor penggerak dalam upaya pendemokratisasian dan pembumian nilai-nilai demokrasi[18].

Dalam teori  oposisi de Brauw, CC yang menegasikan bahwa oposisi pun dapat dilakukan oleh warga negara. Yaitu, merujuk kepada warga negara yang memiliki rasa ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan yang ada namun tidak terepresentasikan dalam perilaku parlemen sebagai wakil mereka. Hal ini, dapat dimaklumi dalam kacamata demokrasi yang tidak berjalan secara substantif memang keterwakilan rakyat atau suara rakyat hanya ada dalam pemilihan umum.

Tingkatan demokrasi sebagai historisnya sebagaimana dikutip Coen Husein Pontoh dalam artikelnya The Truth about Capitalist Democracy dibagi kepada empat level, yaitu:

Pada level ini demokrasi ditandai dengan pemilu regular dan kompetisi antai partai, guna memperebutkan atensi rakyat dan suaranya. Pada demokrasi ini perhatian masyarakat tersedot kepada pemilu yang digelar lima tahunan sekali. Adapun yang mengawasi atau mengontrol hari per hari kegiatan pemegang kuasa disini George Soros benar bahwa pasarlah kemudian yang mengawasi dan mendikte para pemegang kuasa.

  • Demokrasi Partisipatoris[20]

Level ini sedikit lebih maju dari level pertama melalui pembentukan rezim politik yang pada derajat tertentu mampu tampil sebagai perwakilan politik yang efektif serta dapat memperkuat badan legislatif dalam artian menempatkan badan tersebut dengan fungsinya baik secara prosedural atau pun substantif.

  • Demokrasi Sosial[21]

Level ini merupakan kombinasi dari elemen-elemen yang melekat pada dua level demokrasi sebelumnya. Misalnya, kewargaan sosial, jaminan yang luas akan spektrum hak-hak warga negara seperti standar hidup akses terhadap Pendidikan, perumahan dan pelayanan Kesehatan.

  • Demokrasi ekonomi[22]

Level terakhir inilah yang dalam asumsi Pontoh merupakan penghalusan dari apa yang disebut Lenin, revolusi ekonomi. Yang baginya, politik adalah konsentrasi ekonomi atau dalam kata-kata Boron tidak ada sektor yang bernilai lebih dibanding politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun