Mohon tunggu...
Zul Karnain
Zul Karnain Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa di Balik Rasa 1

11 Mei 2015   11:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjalanan suci ini membawa Cherry Pattisemia ke pelupuk mata yang memerah di tengah biasan surgawi, terkikiskan harapan yang selama ini di genggamnya menciptakan garis lurus terbentuk untuk mengkisahkan hatinya. Hujan ini masih menyisakan kesedihan mendalam, menyisakan alam yang terbentang menghijau yang luput terbatas penglihatan jiwa dan raga sang pemilik kisah.

Siapa sangka kisah yang terbentuk berawal dari ketidaksengajaan, sembilu yang mengiris, teriakan lancan dengan bertelanjangkan dada lelaki itu berdiri dengan wajah yang sangar, memecahkan suasana hati.

“dimanakah rasa itu berada? Dimana malaikat yang menari di kebun berbunga yang menyebaran serbuk sari pati dengan bantuan semilir angin, yang menghempaskan hingga ia terjatuh pasrah di tanah yang lembab hingga menjamin kehidupan untuk selanjutnya? Apakah pencipta rasa itu melupakan rasa ? Ataukah hambanya yang tak pernah memiliki rasa dan tak kan pernah tahu dimanakah rasa itu berada? Tantang lelaki itu ditengah keramaian orangyang tak tahu menahu arti kesosialan meskipun ia bukan anti dan fanatik terberat dengan aliran marxisme.

Semua yang hadir pada saat itu melihatnya miris dan menggelangkan kepala, seakan laki-laki yang berbicara di depan mereka adalah orang yang tak waras dan jauh dari ketidaksempurnaan bagi mereka yang berakal.

Kenapa melihatku? Apakah aku salah ketika mengutuk tuhanku? Apakah agamamu memiliki rasa dan memberikan kepada seluruh penganutnya? Apakah aku hina ketika mengotori mulutku dengan sumpah serapah atas cacian kepada pencipta rasa? Apakah aku salah, jawab… kalian semua jawab.

hei.. kamu anak muda yang berjilbab ungu, apakah dengan jilbab anggunmu mampu menciptkan keindahan itu?, ataukah hanya memanjakan mata untuk menciptakan kesan bahwasanya kau adalah seseorang yang taat dan selalu menjalankan perintah tuhanmu?. Umpat laki-laki itu menatap dengan tajam kepadaku. Aku pun tak menghiraukan umpatan laki-laki tadi, seakan tak ada yang terjadi, tapi kata-kata tadi masih terngiang-ngiang dalam perasaanku hingga sampai ke tempat tujuanku.

Semuanya berawal dari pembuktian dan akan berakhir pada penghujung yang melegakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun