Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik per orang di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 1.173 kWh. Ini berarti terjadi peningkatan sekitar 4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan merupakan rekor tertinggi dalam 50 tahun terakhir. Konsumsi listrik per kapita mengacu pada total pemakaian listrik di suatu daerah, dibagi dengan jumlah penduduk selama satu tahun, yang menggambarkan rata-rata penggunaan listrik per individu.
Selama periode 1971-2022, rata-rata konsumsi listrik penduduk Indonesia hampir selalu meningkat setiap tahun, kecuali pada tahun 1973, 1976, dan 1998 di mana terjadi penurunan konsumsi. Kementerian ESDM menargetkan konsumsi listrik akan terus meningkat tahun ini, hingga mencapai 1.336 kWh/kapita pada akhir 2023.
Dari tahun 1971 hingga 2022, penggunaan listrik per kapita di Indonesia hampir selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, kecuali pada 1973, 1976, dan 1998, di mana terjadi penurunan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan bahwa konsumsi listrik per kapita akan terus meningkat, dengan target mencapai 1.336 kWh per kapita pada akhir tahun 2023.
Kementerian ESDM telah merancang berbagai strategi inovatif untuk meningkatkan konsumsi listrik di Indonesia. Salah satu langkah utamanya adalah memastikan aliran listrik menyala 24 jam sehari di seluruh pelosok negeri. "Hingga 31 Desember 2022, masih ada 236 lokasi yang belum menikmati listrik 24 jam penuh," ungkap Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam siaran persnya pada Selasa (31/1/2023).
Di samping itu ada bahaya yang sangat mengintai kita, energi listrik yang menjadi nadi kehidupan kita, yang mendorong segala aktivitas kita, ternyata masih sangat bergantung pada sumber daya yang tidak berkelanjutan. Menurut laporan Climate Transparency Report 2022, Indonesia masih berjuang untuk memanfaatkan energi terbarukan dalam pembangkitan listriknya.
Pada tahun 2021, hanya 19% dari total energi listrik di Indonesia yang berasal dari sumber energi terbarukan. Dari persentase tersebut, tenaga air atau hidro menjadi kontributor terbesar dengan 8%, diikuti oleh biomassa dan limbah dengan 5,3%, panas bumi atau geothermal dengan 5,1%, dan energi angin serta surya masing-masing hanya 0,1%.
Sementara itu, bahan bakar fosil masih mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia dengan 81%. Batu bara menjadi sumber utama dengan 62%, disusul gas bumi dengan 18% dan minyak bumi dengan 2%. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa rata-rata pangsa energi terbarukan untuk pembangkit listrik di Indonesia hanya mencapai 18,7% sepanjang 2016 hingga 2021. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata negara G20 yang mencapai 28,6% selama periode yang sama.
Mari kita soroti dampak yang kurang terlihat dari PLTU, yang ironisnya menjadi tulang punggung pasokan listrik di Indonesia. Salah satu dampak yang sering terabaikan adalah gangguan sistem pernapasan yang dialami oleh komunitas di sekitar PLTU batu bara.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Greenpeace dan Universitas Harvard pada Agustus 2015, gangguan pernapasan ini bukanlah masalah kecil. Bahkan, dampak ini dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih serius, seperti kematian dini. Sebagai ilustrasi, Greenpeace memperkirakan bahwa emisi dari PLTU Jepara saja telah menyebabkan lebih dari 1.020 kematian dini setiap tahun hingga 2012. PLTU Jepara, yang telah beroperasi sejak 2006, memiliki kapasitas produksi energi listrik sebesar 2640 MW.
Meski PLTU batu bara memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat sekitar tidak bisa diabaikan. Data dari Greenpeace menunjukkan bahwa tidak kurang dari 20 anak di bawah lima tahun meninggal akibat infeksi saluran pernapasan akut. Selain itu, terdapat 90 kematian lainnya akibat penyakit pernapasan kronis, 60 kematian akibat kanker paru-paru obstruktif kronis, 450 kematian akibat stroke, dan 400 kematian akibat penyakit jantung iskemik.