Pada masa awal kemerdekaan, diplomasi memegang peranan penting disamping perjuangan dengan darah dan senjata. Diplomasi yang dilakukan oleh para pendiri bangsa menjadikan Indonesia tidak lagi berjuang sendiri mempertahankan kemerdekaannya. Dukungan dari banyak negara yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa tersebut, menjadikan posisi Indonesia dalam meja perundingan dengan Belanda dan dunia diperhitungkan dan dihormati.
Dukungan-dukungan tersebut tentu saja tidak didapatkan dengan serta merta oleh bangsa Indonesia, banyak hal yang harus dikorbankan demi mendapatkannya dari negara-negara di dunia dan diplomasi merupakan komponen terpenting dalam memperjuangkan hal tersebut. Para diplomat dan pendiri bangsa, menggadaikan jiwa dan raganya guna mencapai kemerdekaan penuh bangsa Indonesia. Perjuangan yang begitu besar demi memastikan kemerdekaan Indonesia tidak direbut kembali dan dapat mencapai cita-cita bangsa.
Apabila ditelisik lebih lanjut, diantara sekian banyak diplomat dan pendiri bangsa pada masa awal kemerdekaan dan beberapa dekade setelahnya, terdapat banyak sekali orang-orang hebat yang berasal dari tanah Minang. Sebut saja tokoh-tokoh seperti Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, Mr. Assat hingga Chaerul Saleh merupakan beberapa tokoh penting pada masa tersebut yang berasal dari Minangkabau.
Salah satu tokoh yang berperan penting dalam fase ini adalah Haji Agus Salim. Satu hal yang menarik dari diri beliau adalah meskipun dipanggil dengan sebutan Haji atau orang yang disegani dari segi keagamaan, Agus Salim bukan lah orang yang menempuh pendidikan agama sejak kecil layaknya para tokoh agama yang disegani pada masa itu seperti Hamka. Namun hal tersebut tidak menutup dirinya menjadi pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia bersama pahlawan-pahlawan lainnya.
Haji Agus Salim lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884. Masjhudul Haq merupakan nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya yang merupakan seorang bangsawan atau dari kalangan atas pada masa itu. Beliau menempuh pendidikan nya di sekolah dasar Belanda dan dapat masuk ke Hoger Burgelijke School (HBS) yang dapat dikatakan sebagai sekolah elit pada zaman penjajahan Belanda bagi orang pribumi. Hal ini selain karena beliau berasal dari kalangan bangsawan saat itu, beliau juga termasuk murid yang pintar dan pandai banyak bahasa. Kemampuan berbahasanya ini lah yang membuatnya bekerja sebagai penerjemah dan asisten notaris di Indragiri, Riau.
Agus Salim kemudian bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906 hingga tahun 1911. Pada saat bekerja di Jeddah, Agus Salim menuntut ilmu agama dari Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama terkemuka di Masjidil Haram pada saat itu yang juga berasal dari tanah Minangkabau dan juga pamannya sendiri. Semasa bekerja di Jeddah, Agus Salim lebih banyak memperjuangkan kepentingan dan hak-hak para jamaah haji dibandingkan kepentingan Belanda. Fase hidup beliau di Jeddah ini dapat dikatakan sebagai titik balik dalam hidupnya yang menaikkan semangat nasionalisme dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah pulang ke tanah air, Agus Salim mendirikan sekolah di Koto Gadang, tanah kelahirannya dan menjadikan pelajaran "nasionalisme" sebagai pelajaran wajib bagi murid-muridnya disamping belajar ilmu agama dan dunia. Hal ini beliau lakukan karena menurutnya pendidikan adalah hal yang sangat penting dan anak-anak ini kelak akan menjadi generasi penerus kepemimpinan bangsa Indonesia. Beliau berkecimpung dalam dunia pendidikan kurang lebih selama 3 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk terjun sepenuhnya dalam dunia politik memperjuangkan kemerdekaan.
Agus Salim memulai perjuangannya dalam dunia politik dengn bergabung kedalam Sarekat Islam pada tahun 1919, beliau bergabung bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Peran beliau di Sarekat Islam pada saat itu sangat disegani bahkan dianggap sebagai tangan kanan dari HOS Tjokroaminoto. Agus Salim merupakan orang yang vokal dan tegas dalam menyampaikan gagasannya. Berkat kepandaian beliau dalam berbahasa dan berdialektika, Agus Salim juga sering mengisi rubrik di surat kabar dan bahkan menjadi seorang redaktur pada surat kabar Neratja. Perjuangan Agus Salim terus berlanjut dari tahun ke tahun hingga pada saat Indonesia akan merdeka, beliau dipecaya untuk menjadi bagian dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan yang menyusun dasar negara.
Ketika Indonesia Merdeka, nama beliau semakin disegani tatkala berhasil menjalankan tugas dengan baik sebagai ketua Misi Republik Indonesia ke Timur Tengah. Beliau yang merupakan diplomat ulung dengan kemampuan berbahasa yang baik dan lobi yang hebat memimpin delegasi tersebut ke beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Berkat keberhasilan misi diplomatik yang dipimpin oleh Haji Agus Salim tersebut menjadikan kedudukan Indonesia dianggap serta diperhitungkan di kancah dunia. Kepiawaian beliau dalam berdiplomasi tersebut dianggap tidak lepas dari pengaruh budaya Minangkabau yang menjadi dasar dari hebatnya kemampuan Haji Agus Salim dalam berbahasa.