Mohon tunggu...
Dzakwan Surya Putra
Dzakwan Surya Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia yang sedang menggali minat dalam hal menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelukan Pandangan Orientalisme pada Perang Palestinda Melawan Israel

4 April 2024   14:16 Diperbarui: 4 April 2024   14:16 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

07 Oktober 2023. Palestina menegakkan kepalanya. Dengan di bawah pimpinan Hamas, invasi massal dilakukan terhadap Israel dari Jalur Gaza. Hamas memulai serangan yang mengguncang Israel dengan meluncurkan serangkaian roket besar-besaran pada pagi hari sekitar pukul 6:30 waktu Israel, menargetkan area sipil di selatan dan pusat Israel. Mereka berhasil menembus dinding pembatas Gaza-Israel dan masuk melalui penyeberangan perbatasan Gaza. Operasi ketenteraan Hamas yang dipanggil "Al-Aqsa Flood" mengakibatkan Israel mengalami kerugian besar karena banyak anggota tentaranya tewas, bahkan banyak yang berhasil ditangkap dan menjadi tawanan perang oleh Hamas. Untuk menyembunyikan kegagalan intelijen dan operasi militer mereka, Israel memulai serangan bom yang ganas dari utara sebagai bagian dari upaya pembersihan etnik besar-besaran terhadap penduduk Gaza.

Hamas menegaskan bahwa perang antara mereka dan Israel tidak dimulai pada tanggal 7 Oktober 2023. Sebenarnya, konflik ini telah berlangsung selama 30 tahun sejak pendudukan kolonialisme Inggris dan 75 tahun pendudukan Zionis. Akibat pendudukan tersebut, warga Palestina yang awalnya memiliki hak atas 98,5 persen wilayahnya, kini hanya memiliki Jalur Gaza. Tentu hal ini sudah sepatutnya menjadi sorotan bagi dunia. Konflik antara Palestina dan Israel memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Wilayah Palestina telah menjadi pusat peradaban kuno, seperti yang dikenal dalam sejarah Mesir, Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Pada abad ke-2 SM, wilayah ini menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi. Setelah penaklukan oleh Muslim pada abad ke-7, Palestina menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam dan diperintah oleh berbagai dinasti seperti Abbasiyah, Umayyah, dan Ottoman. Pada abad ke-19, wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, sementara gerakan Zionisme mulai muncul di Eropa dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung pendirian "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa menugaskan Britania Raya untuk mengelola Mandat Palestina. Namun, konflik antara penduduk Arab dan Yahudi semakin meningkat. Pada tahun 1947, PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab, tetapi rencana ini ditolak oleh Arab. Pada tahun 1948, negara Israel diproklamasikan, yang memicu pecahnya Perang Arab-Israel pertama, dan sejak itu, konflik antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Palestina, terus berlanjut.

Perang Nakba: Saksi Awal

Perang Nakba, yang berlangsung antara Mei 1948 hingga Maret 1949, memperlihatkan konflik antara pasukan Israel dan negara-negara Arab yang menyerang Palestina setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Perang ini dimulai karena negara-negara Arab tidak setuju dengan pembagian wilayah Palestina oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1947 yang memungkinkan terbentuknya negara Israel. Selama Perang Nakba, pasukan Israel berhasil mengalahkan pasukan Arab yang lebih besar dalam jumlah, yang berasal dari Mesir, Yordania, Suriah, dan Irak. Konsekuensinya sangat besar, dengan sekitar 750.000 orang Palestina menjadi pengungsi, kehilangan rumah dan tanah mereka, serta mengalami trauma yang mendalam. Banyak desa Palestina dihancurkan atau ditinggalkan, menciptakan situasi kemanusiaan yang tragis.

Istilah "Nakba," yang berarti "bencana" dalam bahasa Arab, tidak hanya merujuk pada peristiwa dramatis tahun 1948, tetapi juga pada pengalaman berkelanjutan rakyat Palestina sejak saat itu hingga sekarang. Dampak Nakba masih dirasakan dalam kehidupan sehari-hari mereka, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan perjuangan mereka untuk mendapatkan kemerdekaan dan hak-hak yang diakui secara internasional. Nakba tahun 1948 sangat berpengaruh pada Palestina sekarang. Ratusan ribu warga Palestina jadi pengungsi, desa-desa dihancurkan, dan tanah mereka dirampas. Dampaknya masih terasa, termasuk status pengungsi, kehilangan tanah, ketidakstabilan politik dan ekonomi. Nakba juga membentuk identitas rakyat Palestina, memotivasi perjuangan mereka untuk kemerdekaan dan keadilan. Ini bukan hanya peristiwa masa lalu, tetapi juga berpengaruh pada kehidupan mereka sekarang, mendorong mereka untuk terus berjuang.

Orientalisme dan Palestina Melawan Israel

Edward Said menyatakan bahwa orientalisme adalah cara pandang Eropa terhadap dunia Timur, yang memisahkan Barat sebagai subjek superior dan Timur sebagai objek inferior. Orientalisme tidak hanya memengaruhi pemikiran tentang agama dan budaya Timur, tetapi juga meresap dalam bidang sastra, politik, dan pengetahuan kolonial. Said menekankan bahwa orientalisme telah mendominasi pandangan dunia terhadap Timur, terutama Arab, selama berabad-abad, menciptakan gambaran imajiner yang sarat dengan stereotipe dan penghinaan. Ini juga menjadi bagian dari tradisi akademis yang berpengaruh, membentuk konstruksi kekuasaan dan hierarki antara Timur dan Barat.

Said mengkritik cara pandang Eropa terhadap Timur, termasuk Palestina, yang terus-menerus ditempatkan dalam posisi inferior sebagai objek pengetahuan kolonial. Dalam konteks Perang Palestina, orientalis Eropa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Said, tercermin dalam cara orang Arab sering kali diabadikan dengan stereotip negatif dalam karya sastra, film, dan media Barat. Pemikiran ini mencakup dehumanisasi orang Timur, termasuk orang Arab, yang menjadi elemen penting dalam pemahaman Barat tentang konflik di Palestina.

Orientalisme berpengaruh besar dalam konflik Israel-Palestina dengan mencerminkan pandangan dominan Barat terhadap Timur. Dalam konflik tersebut, orientalisme tercermin seringkali menampilkan salah satu pihak sebagai teroris atau lebih rendah, sementara pihak lain dianggap superior. Ini mencerminkan dominasi Barat dan superioritas terhadap Timur. Palestina, dalam posisi inferior dan terus-menerus tergambarkan melalui lensa stereotip dan preconception negatif. Orientalisme telah membentuk landasan pemahaman yang tidak merata dan seringkali merugikan pihak yang tertindas dalam persoalan tersebut. Selain itu, orientalisme terlihat dalam pandangan Israel terhadap Hamas dan masyarakat Palestina sebagai teroris atau barbar. Media sosial Barat cenderung memperindah gambaran Israel dan meredakan dampak konflik, sementara media sosial Timur mengekspos penderitaan Palestina dan ketidakadilan yang mereka alami. Orientalisme memainkan peran penting dalam membentuk opini, persepsi, dan narasi konflik, yang terkadang memperkuat ketimpangan kekuasaan dan dominasi dalam konflik tersebut.

Referensi

Barnea, A. (2024). Israeli Intelligence Was Caught Off Guard: The Hamas Attack on 7 October 2023---A Preliminary Analysis. International Journal of Intelligence and CounterIntelligence, 1-27.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun