Pernahkah kita bertanya mengapa daerah yang menghasilkan sumber daya alam justru sering hanya kebagian sisanya? Kenapa manfaat besar dari industri dan pengolahan malah dinikmati di tempat lain?Â
Keputusan pemerintah membangun pabrik hilirisasi timah di Batam, bukan di Bangka Belitung, menghidupkan kembali pertanyaan ini. Bangka Belitung selama ini menjadi tulang punggung produksi timah Indonesia, bahkan menduduki posisi ketiga terbesar di dunia setelah China dan Myanmar. Namun, ketika berbicara tentang industri pengolahan yang memberikan nilai tambah, daerah ini justru terpinggirkan. Keputusan pemerintah untuk membangun pabrik di Batam menimbulkan banyak pertanyaan kritis. Apakah ini benar-benar demi kepentingan nasional? Atau justru lebih menguntungkan investor dan pihak-pihak tertentu? Â
Alasan yang disampaikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memilih Batam sebagai lokasi pembangunan pabrik memang terdengar logis dari sudut pandang investasi. Infrastruktur yang lebih siap, statusnya sebagai Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) yang memberikan berbagai insentif pajak, ketersediaan tenaga kerja industri yang lebih terampil, serta kedekatannya dengan pasar ekspor seperti Singapura menjadi faktor utama yang mereka ajukan. Namun, jika kebijakan ini kita telaah lebih jauh, alasan tersebut justru memperlihatkan adanya ketimpangan dalam pembangunan nasional. Bukankah seharusnya pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk membangun daerah penghasil agar mereka juga bisa menikmati hasil dari sumber daya yang mereka miliki? Â
Keputusan ini semakin mengukuhkan pola lama ekonomi di Indonesia, di mana daerah penghasil sumber daya hanya berfungsi sebagai lumbung bahan mentah, sementara pengolahan dan nilai tambah industri dipindahkan ke daerah lain. Dengan membangun pabrik di Batam, timah dari Bangka Belitung harus dikirim ke luar daerah untuk diolah, sementara manfaat ekonomi dari hilirisasi justru dinikmati oleh wilayah lain. Ini bukan hanya soal investasi, tetapi juga tentang keadilan ekonomi. Jika kebijakan ini terus dibiarkan, Bangka Belitung akan tetap tertinggal dan hanya menjadi "sumber bahan baku," bukan pusat industri yang mandiri..Â
Dari segi logistik, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Mengangkut timah yang berasal dari Bangka Belitung ke Batam tentu bukan tanpa biaya. Transportasi bahan mentah dalam jumlah besar jelas membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Jika pabrik dibangun langsung di Bangka Belitung, tentunya akan jauh lebih efisien dan hemat biaya. Selain itu, tambahan perjalanan ini juga meningkatkan emisi karbon yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Jika alasan efisiensi menjadi pertimbangan utama pemerintah, maka keputusan ini justru bertolak belakang dengan logika tersebut. Bukankah lebih masuk akal jika timah diolah langsung di tempat produksinya daripada harus melalui jalur distribusi yang lebih panjang dan mahal? Â
Lebih lanjut, salah satu dalih pemerintah memilih Batam adalah karena infrastruktur di Bangka Belitung dianggap belum siap untuk menopang industri hilirisasi timah ini. Namun, pernyataan ini justru menunjukkan kegagalan dalam perencanaan pembangunan. Jikalau Bangka Belitung belum memiliki infrastruktur yang memadai, bukankah seharusnya pemerintah fokus untuk membangunnya? Mengapa solusinya justru memindahkan industri ke tempat lain yang memang sudah lebih berkembang dari dulu? Ya, seharusnya kebijakan hilirisasi menjadi alat untuk membangun daerah penghasil, bukan justru memperkuat dominasi kawasan industri yang sudah maju seperti Batam. Jika pemerintah berkomitmen untuk pemerataan pembangunan, seharusnya investasi besar seperti ini diarahkan ke Bangka Belitung agar mereka juga bisa berkembang, bukan malah dikesampingkan. Â
Ketimpangan ekonomi antar daerah semakin nyata dalam keputusan ini. Wilayah Batam yang selama ini sudah menjadi pusat industri dan perdagangan kembali mendapatkan keuntungan dari investasi besar, sementara Bangka Belitung yang sebenarnya lebih berhak atas industri hilirisasi ini malah tetap menjadi penonton. Lebih lanjut, pola pembangunan seperti ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga berisiko memperparah ketidaksetaraan antarwilayah. Pemerintah selalu berbicara tentang pemerataan ekonomi, tetapi keputusan ini justru memperlihatkan bagaimana pembangunan nasional masih berpihak pada pusat-pusat industri besar, bukan pada daerah yang seharusnya mendapatkan prioritas. Â
Dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat Bangka Belitung juga harus menjadi perhatian. Selama ini, masyarakat setempat telah hidup berdampingan dengan industri pertambangan timah, tetapi peran mereka sebagian besar terbatas pada sektor hulu sebagai buruh tambang atau pekerja di industri ekstraktif. Jika hilirisasi dilakukan di Bangka Belitung, maka masyarakat setempat bisa lebih banyak terlibat dalam rantai produksi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dengan adanya industri pengolahan, peluang bagi pendidikan vokasi dan pelatihan tenaga kerja industri juga akan terbuka, memungkinkan generasi muda di Bangka Belitung untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih berkualitas daripada hanya menjadi penambang. Sebaliknya, jika pabrik tetap dibangun di Batam, manfaat ini akan jatuh ke tangan pekerja di sana, sementara masyarakat Bangka Belitung hanya akan menjadi penyedia bahan mentah yang tidak menikmati hasil dari industri tersebut. Â
Ironisnya, kebijakan ini semakin menegaskan bahwa pembangunan ekonomi nasional masih lebih berpihak kepada investor daripada kesejahteraan masyarakat lokal. Pemerintah kerap berbicara tentang hilirisasi sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam, tetapi jika kebijakan ini hanya menguntungkan daerah tertentu, maka hilirisasi hanya akan menjadi bentuk baru dari eksploitasi. Jika pembangunan pabrik hilirisasi timah di Batam hanya dipertimbangkan dari aspek kemudahan investasi dan bukan dari segi pemerataan manfaat, maka ini adalah kebijakan yang gagal memberikan keadilan ekonomi. Â
Pemerintah seharusnya meninjau kembali keputusan ini dan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya bagi Bangka Belitung. Hilirisasi timah bukan hanya soal keuntungan bisnis dan kemudahan ekspor, tetapi juga soal hak masyarakat lokal untuk menikmati manfaat dari sumber daya alam mereka sendiri. Jika pemerintah benar-benar ingin menjalankan hilirisasi yang adil dan berkelanjutan, maka investasi harus diarahkan ke daerah penghasil agar mereka juga bisa berkembang, bukan malah menjadi penyedia bahan mentah yang terus-menerus bergantung pada daerah lain. Â