Setiap Ramadan, ada nuansa yang berbeda di setiap sudut negeri ini. Udara pagi yang syahdu, lantunan doa yang menggema, suara tadarus Al-Quran diberbagai sudut kehidupan, dan semangat berbagi yang kian membuncah. Namun ada yang berbada di Ramadhan tahun ini, pemerintah mengambil langkah penting dalam menyikapi bulan suci tersebut dengan mengeluarkan kebijakan terkait pembelajaran siswa di bulan Ramadan. Kebijakan ini tidak hanya menyesuaikan ritme belajar siswa dengan suasana Ramadan, tetapi juga menempatkan pendidikan karakter sebagai fokus utama. Â
Diketahui, Surat Edaran Bersama (SEB) terkait Pembelajaran di Bulan Ramadan Tahun 1446 Hijriah/2025 Masehi telah resmi ditandatangani oleh tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendasmen), Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dokumen No. 2 Tahun 2025, nomor 2 tahun 2025 dan nomor 400.1/320/SJ tersebut menjadi landasan utama dalam mengatur skema pembelajaran siswa selama bulan Ramadan. Dengan kehadiran SEB ini, pemerintah memberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana siswa, sekolah, dan masyarakat dapat memanfaatkan momentum Ramadan untuk pendidikan yang lebih bermakna. Â
Salah satu poin penting kebijakan ini adalah pemberian keleluasaan bagi siswa untuk belajar secara mandiri di rumah, tempat ibadah, atau lingkungan masyarakat pada tanggal tertentu. Pendekatan ini sangat relevan dengan semangat Ramadan, yang mengajarkan pentingnya introspeksi dan kebermaknaan dalam aktivitas mereka sehari-hari. Â
Namun, fleksibilitas ini juga membawa tantangan. Tidak semua siswa memiliki lingkungan yang kondusif untuk belajar mandiri. Oleh karena itu, peran orang tua menjadi sangat krusial dalam mendampingi anak-anak mereka agar waktu yang diberikan tidak hanya menjadi waktu luang tanpa arah. Â
Pembelajaran di Sekolah dengan Sentuhan Nilai Religi
Pada tanggal 6 hingga 25 Maret 2025, kebijakan pemerintah mengarahkan siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar di sekolah dengan tambahan program yang memperkuat nilai-nilai keagamaan. Kegiatan seperti tadarus Al-Qur'an, pesantren kilat, kajian keislaman, hingga bimbingan rohani bagi siswa non-Muslim menjadi inti dari program ini. Inilah bentuk inklusivitas yang patut diapresiasi. Pemerintah tidak hanya fokus pada siswa Muslim, tetapi juga memberikan ruang bagi siswa dari agama lain untuk memperdalam pemahaman spiritual mereka. Â
Kebijakan ini membuka peluang besar bagi sekolah untuk menjadi pusat pembentukan karakter yang holistik. Namun, hal ini juga memerlukan komitmen kuat dari pihak sekolah dan tenaga pendidik untuk merancang kegiatan yang tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar mampu membekas dalam diri siswa. Â
Lebih lanjut, bagian akhir dari kebijakan ini adalah penetapan libur bersama menjelang Idulfitri. Dengan memberikan waktu bagi siswa untuk berkumpul bersama keluarga dan masyarakat, kebijakan ini menekankan pentingnya kebersamaan dan solidaritas sosial. Dalam konteks Ramadan, nilai-nilai ini sangat penting untuk ditanamkan, terutama dalam membentuk rasa empati dan kebersamaan di tengah masyarakat yang majemuk. Â
Namun, ada hal menarik yang perlu dicermati. Apakah semua siswa memanfaatkan waktu libur ini untuk hal-hal positif? Jika tidak didukung oleh arahan yang jelas dari pihak sekolah dan orang tua, libur panjang justru bisa menjadi celah bagi  siswa untuk berkegiatan yang tidak produktif. Â
Dibalik itu semua, penulis menilai bahwa kebijakan ini adalah langkah yang baik untuk mendekatkan pendidikan dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Namun, penerapannya tidak akan berjalan mulus tanpa kerja sama semua pihak. Orang tua, guru, dan siswa perlu memiliki pemahaman yang sama tentang esensi dari kebijakan ini. Selain itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan ini juga menjadi hal yang sangat penting. Apakah siswa benar-benar merasakan manfaat dari program-program yang dirancang? Apakah ada indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan kebijakan ini? Â