Pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 kembali mencatat fenomena yang jarang terjadi, yaitu kemenangan kotak kosong. Salah satunya adalah di beberapa kabupaten/kota di provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebagai bagian dari masyarakat yang menjadi pemilih pemula dan sedang belajar memahami lebih dalam demokrasi di negeri ini, fenomena ini tentu memicu pertanyaan besar, apakah kemenangan kotak kosong ini merupakan representasi dari demokrasi yang sehat, atau justru menggambarkan adanya kejanggalan dalam sistem politik di suatu daerah tersebut? Â
Kotak Kosong: Antara Pilihan dan Keputusasaan
Ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) dalam pilkada, masyarakat diberikan opsi untuk memilih paslon tersebut atau kotak kosong. Kemenangan kotak kosong di beberapa daerah di Bangka Belitung menandakan bahwa masyarakat menolak satu-satunya paslon yang tersedia. Di atas kertas, hal ini menunjukkan bahwa rakyat menggunakan hak pilihnya untuk mengungkapkan ketidakpuasan. Terlebih jika kita soroti bahwa satu-satunya pasangan calon adalah mereka yang pernah memimpin daerah. Lebih lanjut mari kita renungkan lebih dalam, apakah ini benar-benar cerminan kehendak rakyat, atau sekadar keputusasaan akibat minimnya pilihan yang ada?Â
Dalam demokrasi, idealnya ada kompetisi yang sehat antar kandidat, sehingga masyarakat bisa memilih pemimpin terbaik. Namun, jika hanya satu paslon yang maju, rakyat tidak diberikan ruang untuk benar-benar memilih, melainkan hanya "menyaring" kandidat tunggal tersebut. Ketika kotak kosong menang, seolah-olah rakyat berteriak lantang: "Kami ingin perubahan, tapi kami tidak diberikan pilihan!"
Kegagalan Partai Politik atau Sinyal dari Rakyat?
Fenomena ini juga menjadi sorotan terhadap partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah. Mengapa hanya ada satu paslon? Apakah ini karena partai lebih fokus pada kompromi politik ketimbang menggali potensi lokal? Atau mungkin ada ketakutan untuk bersaing secara terbuka? Â
Bagi saya pribadi, kemenangan kotak kosong menjadi tamparan keras bagi partai politik. Ini menunjukkan bahwa partai politik gagal membaca aspirasi rakyat atau bahkan tidak berusaha menawarkan opsi yang beragam. Demokrasi kita seolah hanya dijalankan untuk memenuhi syarat administratif, bukan untuk benar-benar menciptakan perubahan nyata bagi masyarakat. Lantas apakah ini yang dinamakan sebuah demokrasi?Â
Saya belajar bahwa demokrasi adalah sistem yang memberikan suara kepada rakyat untuk menentukan arah kebijakan dan pemimpin. Tetapi, ketika rakyat hanya diberikan satu pilihan yang tidak mereka setujui, apakah ini masih bisa disebut demokrasi? Â
Demokrasi sejati tidak hanya tentang memberikan suara, tetapi juga tentang memastikan ada ruang untuk kompetisi yang adil. Jika hanya ada satu paslon, kompetisi ini otomatis terhenti, dan kotak kosong menjadi jalan bagi rakyat untuk menyuarakan protes mereka. Namun, ini bukan solusi jangka panjang. Kita harus bertanya: apa yang sebenarnya diinginkan rakyat, dan bagaimana kita bisa mencapainya?
 Â