Karya : Dzaki Al-Faruq
Di malam yang syahdu ini, ditemani tetesan-tetesan air hujan yang menyejukkan hati para penikmatnya, jari-jariku seakan menari-nari dengan eloknya diatas sebuah keyboard. Menuliskan sepenggal kisah yang tak terlupakan. Pikiran ini serasa terbang menuju dunia masa lalu, membuka memori-memori kenangan yang berusaha ku rangkai kembali. Bernostalgia tentang sebuah cerita kehidupan anak manusia.
Sebuah cerita yang semoga bisa menginspirasi banyak orang yang membacanya. Tentang pengorbanan dan perjuangan seorang ibu kepada anaknya, dan pentingnya kita bersyukur atas kehadiran sosok ibu dengan segala kasih sayangnya untuk kita, setidaknya sampai saat ini.
***
Magelang, 27 Mei 1996. Di malam yang sunyi itu, di sebuah sudut kamar praktik bidan, terbaring seorang perempuan berumur 26 tahun yang sedang terkulai lemas. Di sampingnya duduk seorang ibu-ibu paruh baya berbaju putih khas bidan pada umumnya dengan menggendong seorang bayi mungil yang baru lahir. Di luar ruangan berdiri seorang nenek yang sedang cemas menanti kehadiran sang cucu yang sudah lama dinantinya. Tidak ada seorang pria satupun yang ada di sana. Tidak seperti kelahiran-kelahiran seorang bayi biasanya. Tangis membahana sang bayi menghiasi malam itu. Bayi yang lahir dengan berat tubuh yang hanya 2,1 kg, berat yang tidak normal bagi seorang bayi yang baru lahir. Karena begitu kecil dan mungilnya bayi itu, sampai tulang-tulang rusuk sang bayi begitu menonjol terlihat, bahkan usus-usus yang ada di dalamnya pun bisa dilihat dengan mata telanjang. Tidak ada yang berani memegangnya, kecuali satu orang saja yaitu adik dari nenek sang bayi. Ialah satu-satunya orang yang berani memandikan bayi itu dengan penuh kehati-hatian. Sungguh kondisi bayi yang amat memprihatinkan.
Ya, bayi itu adalah aku 17 tahun yang lalu. Bayi yang kemudian di beri nama Muhammad Dzaki Al-Faruq. Seorang bayi yang dilahirkan dengan berat yang tidak semestinya. Seorang bayi yang waktu kelahirannya tidak didampingi seorang ayah yang sedang merantau di ujung dunia lainnya, di Arab Saudi sana yang sedang menuntut ilmu di negeri suci itu. Perjuangan seorang ibu bernama Dwi Erna Ida Fitri yang harus melalui hari-hari beratnya mengandung seorang calon bayi sendiri tanpa ditemani kehadiran seorang suami di sisinya. Begitu berat pastinya. Bahkan saat itu, ia juga harus dibebani mengajar di sebuah Pondok Pesantren yang begitu terkenal di Kota Bengawan Solo, Surakarta. Tepatnya di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo. Hidup di lingkungan pondok dengan segala kewajiban yang harus dijalaninya dengan seorang bayi dalam kandungan menemani hari-harinya selama 9 bulan. Sebuah rintihan batin yang mungkin dirasakannya karena tidak ada kehadiran seorang suami di sisinya. Seseorang yang seharusnya dapat mengusap pipinya ketika ia menangis sedih, seseorang yang seharusnya bisa mencium keningnya ketika ia butuh kehangatan dan kasih sayang. Perjuangan seorang ibu yang berusaha membesarkan kandungan dalam sebuah kesendirian yang memilukan.
Aku tidak menyalahkan ibuku kenapa ia melahirkanku dengan kondisi yang amat memprihatinkan. Mungkin itu karena tekanan psikis yang dialami ibuku yang harus menjalani hari-harinya membesarkan kandungannya tanpa kehadiran seorang suami. Aku juga tidak menyalahkan ayahku kenapa ia tidak bisa hadir menemani ibuku ketika ia harus berjuang sendirian membesarkan kandungannya, dan tidak ada di sisiku ketika pertama kalinya aku bisa melihat dunia yang begitu indah ini. Karena ayahku di ujung dunia sana, sedang berjuang menuntut ilmu seperti yang di anjurkan Tuhan kepada hamba-Nya. Tapi, setidaknya aku bersyukur karena aku lahir dalam kondisi hidup dan bisa melihat dunia yang telah sembilan bulan dalam kandungan aku impikan. Itu saja.
Beberapa bulan setelah aku lahir, ayahku baru bisa pulang ke Indonesia mengambil cuti untuk melihat sang buah hati, darah dagingnya sendiri. Dan ketika itu aku baru tahu bahwa ayahku bernama Solikhin Muzachim. Ketika itu pula, aku bisa melihat secara nyata wajah ayahku. Ternyata ayahku saat itu begitu gagah dan tampan. Untuk pertama kalinya ayahku bisa melihat secara langsung darah dagingnya yang ia nanti-nantikan. Senyum yang elok terbersit di bibirnya. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena beberapa bulan kemudian ayahku harus kembali meninggalkanku dan ibuku untuk kembali terbang ke Arab Saudi melanjutkan studinya. Kembali, hari-hari yang berat dilalui ibuku untuk membesarkanku tanpa kehadiran seorang suami. Hanya didampingi nenekku dan teman-temannya di kompleks pondok. Ia berusaha untuk kuat, walaupun hatinya merintih dan menjerit seakan begitu berat membesarkanku seorang diri. Namun, ia membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Ia berusaha terlihat kuat didepanku. Ia jalani itu sendiri selama 2,5 tahun lamanya. Sampai pada suatu hari............
***
Magelang, 20 Januari 1999. Aku masih ingat sekali hari itu. Hari yang menurutku begitu membahagiakan awalnya, tetapi tidak pada akhirnya. Pagi itu, aku diajak jalan-jalan oleh bibiku ke kota. Hatikupun amat bahagia, aku berangkat dengan hati yang amat riang. Di kota aku diajak berkeliling kota ke tempat rekreasi, dan aku dibelikan semua hal yang aku suka. Akupun begitu puas dengan semuanya. Hatiku benar-benar senang. Setelah aku puas jalan-jalan, kami pulang ke rumah. Tak sabar aku ingin menceritakan jalan-jalanku hari ini kepada ibuku yang ada di rumah. Sesampainya di rumah, aku segera berlari memasuki rumah mencari sosok ibu di setiap sudut rumah. Namun, aku tidak menemukannya. Kemudia, ku hampiri bibiku dan kutanyakan dimana keberadaan ibuku. Tetapi, ia hanya diam membisu. Aku bertanya kepada yang lainnya, tetapi jawaban itu tetap sama, semua hanya diam membisu. Aku semakin bingung dengan semua ini. Rasanya ada yang janggal dengansemua keluargaku hari ini. Baru beberapa waktu kemudian, bibiku mendekatiku dan menceritakan semuanya. Dan ketika itu aku baru tahu semuanya.......
Ternyata ajakan bibiku untuk mengajakku jalan-jalan ke kota hanyalah sebuah sandiwara terencana. Karena, pada waktu itu ibuku diterima untuk melanjutkan kuliah di Universitas yang sama dengan ayahku yaitu Universitas Ummul Quro, Makkah. Ia pergi meninggalkanku untuk menyusul ayahku ke Arab Saudi, Makkah. Awalnya ibuku dan ayahku sudah berusaha bagaimana caranya agar aku bisa ikut bersama mereka ke Makkah. Tetapi, peraturan pemerintah Arab Saudi kepada mahasiswa Indonesia menghancurkan semua harapan itu. Aku tidak mendapatkan visa dan iqomah (sejenis ktp di arab Saudi yang harus dimiliki setiap orang yang akan tinggal di sana) untuk bisa terbang ke Arab Saudi bersama mereka, karena peraturannya seorang anak yang boleh ikut visa dan iqomah orang tua adalah yang masih di bawah umur 2 tahun. Ketika itu umurku sudah 2,5 tahun, itu artinya aku tidak memenuhi syarat yang ada. Dengan hati yang teriris ibuku meninggalkanku yang masih kecil ini seorang diri. Dan mulai saat itu pula aku hidup tanpa kasih sayang dan kehangatan seorang ibu dan ayah. Namun, setidaknya aku masih memiliki seorang ibu dan ayah walaupun aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu dan berkumpul bersama mereka kembali. Entah kapan, tapi aku percaya bahwa suatu saat hal itu akan terjadi.
***
Hari demi hari aku jalani dengan begitu berat bersama nenekku dan keluarga besarku setelah orang tuaku pergi menuntut ilmu di belahan dunia lainnya. Nenekkulah yang kemudian mengasuhku dan merawatku menggantikan sosok ibu di sampingku. Aku seperti menemukan ibu baru yang yang tulus merawat dan menyayangiku dengan sepenuh hati. Ia sudah aku anggap sebagai ibu keduaku, bahkan akupun memanggilnya dengan sebutan Mae (ibu dalam bahasa jawa) walaupun dia sebenarnya adalah nenekku. Ialah yang mengantarkanku ke sekolah, memenemani dalam tidur-tidur lelapku, dan membelai rambutku ketika aku merasa kesepian. Namun, walaupun aku dan orang tuaku terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh, tetapi mereka selalu mengirimkan uang setiap bulannya untuk kebutuhan keseharianku. Dan hari yang paling aku tunggu-tunggu adalah ketika kakekku atau pamanku mengajakku ke kota untuk menelepon orang tuaku menanyakan kabar mereka, karena saat itu telepon genggam masih sangat jarang. Walaupun hanya suara mereka yang aku dengar, tetapi itu sudah cukup bagiku untuk setidaknya mengobati rasa rindu dalam hati kecil ini. Hari-hari seperti itu aku lalui selama lebih dari delapan tahun lamanya. Kabar gembira pertama pun datang ketika ibuku mengabarkan bahwa aku telah memiliki adik, adik yang belum pernah aku lihat wajahnya. Namun, aku begitu bahagia dengan kabar itu. Sampai kabar gembira yang kedua itu tiba, kabar yang telah aku nanti-nanti sejak lama....
***
Jakarta, 23 Juli 2006. Malam itu, Jakarta seperti biasanya. Walau matahari telah beristirahat di semayamannya, namun hiruk pikuk kota metropolitan itu masih begitu ramai. Lalu lalang arus lalu lintas masih padat merayap. Di salah satu taksi di antara banyaknya taksi Jakarta, aku duduk termenung bersama pamanku yang masih setia di sampingku. Pikiranku melayang jauh ke belahan dunia lain. Aku tak sabar untuk menanti datangnya pagi tiba. Ya, besok aku akan menyusul kedua orangtuaku terbang ke negeri suci para kaum muslim di seluruh dunia, Arab Saudi, tepatnya Makkah Al-Mukarramah. Itu artinya aku bisa kembali bersatu dengan kedua orangtuaku. Hati ini serasa ingin melonjak, akhirnya penantian yang ku nanti-nantikan selama lebih dari delapan tahun sampai saat ini aku naik kelas 5 SD kini hampir terwujud. Segala usaha dan doa akhirnya membuahkan hasil. Akupun harus rela berganti nama dari Muhammad Dzaki Al-Faruq menjadi Dzaki Sholihin Muzahim sesuai nama ayah dan kakekku, untuk mempermudah registrasi keberangkatanku ke Arab Saudi. Saat ini, aku dan pamanku sedang menuju rumah teman ayahku di Jakarta untuk menginap bermalam di rumahnya. Besok pagi, kami baru menuju bandara Soekarno-Hatta. Sesampainya di rumah teman ayahku, aku segera terlelap tidur agar besok pagi aku tidak bangun kesiangan sesuai dengan jadwal keberangkatan pesawat.
Di pagi yang cerah itu, aku segera bergegas mandi dan bersiap-siap untuk menyongsong hari yang amat spesial ini. Kamipun segera menuju ke bandara Soekarno-Hatta. Sesampainya disana, pamanku menguruskan tiketku dan segala administrasi dan registrasinya. Setelah itu, aku berpamitan dengan pamanku dan segera menuju ruang tunggu. Sekarang, aku sendiri. Tak ada siapapun yang menemani. Akupun menangis. Bayangkan, seorang anak yang baru naik kelas 5 SD sudah harus pergi sendirian menuju belahan dunia lain tanpa ditemani siapapun. Tidak ada satupun orang yang aku kenal. Namun, demi bersatu kembali dengan Ibu dan Ayahku, aku rela melakukannya. Setelah itu, aku masuk ke pesawat dan setelah 12 jam perjalanan yang amat melelahkan, pesawat berhasil mendarat di bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Aku segera bergegas turun. Hatiku sudah benar-benar tak tahan lagi dengan gejolak kerinduan ini. Dari jauh, samar-samar kulihat 3 sosok yang amat ku kenal dan amat ku nanti. Mereka adalah ibu, ayah, dan adikku. Segera saja setelah semua urusan imigrasi sudah selesai, aku berlari begitu cepat menghampiri mereka. Tak ku pedulikan lagi barang-barang yang masih berada di bagasi pesawat. Tak ku pedulikan pula teriakan petugas bandara kepadaku. Yang ada di benakku hanyalah sesosok malaikat yang telah 8 tahun lebih berpisah dariku. Malaikat yang diciptakan Tuhan untuk menemani hari-hariku, namun takdir memisahkan kita berdua. Ku peluk erat pundak ibuku, dan ku muntahkan seluruh air mata yang tersimpan di pelupuk mata ini. Hati ini seakan ingin melompat bahagia. Ku peluk lebih erat lagi tubuh ibuku, seakan aku tak mau jika ia meninggalkanku untuk yang kedua kalinya. Sekali lagi, tidak untuk yang kedua kalinya.
Sejak saat itu, aku tinggal bersama orangtuaku di Makkah selama satu tahun, dan kemudian kami kembali bersama-sama ke kampung halaman yang kami cinta, Indonesia. Dahaga atas kasih sayang seorang ibu yang ku nanti-nanti sejak bertahun-tahun lamanya kini sudah ada di depan mata. Kehangatan yang tiada tara, belaian yang begitu lembut, begitu luar biasa. Dan semua ini benar-benar nyata. Aku tidak sedang bermimpi maupun sedang melamun. Sekali lagi ini benar-benar nyata.
***
Aku terbangun dari nostalgiaku malam ini. Semua memori masa kecilku seakan menyadarkanku bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan-kesempatan indah bersama ibuku saat ini. Aku berjanji aku harus bisa membuat ia selalu tersenyum, selalu riang, dan bangga atas prestasi-prestasi yang aku raih. Sebelum ibuku meninggalkanku untuk yang kedua kalinya dan untuk selamanya. Aku tak tahu kapan itu akan terjadi, namun aku percaya bahwa hari itu pasti akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H