Mohon tunggu...
Dzakir El Ahmad
Dzakir El Ahmad Mohon Tunggu... -

sepotong daging, tulang yang penuh dosa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenalilah Akidahmu 2 [Hadis Dho'if]

21 Februari 2013   13:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:56 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum

matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan

oleh para Ulama Muhadditsin,

Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak

sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak

pembagiannya,

Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan

berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal

rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita

dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama

Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa

berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan

hukum thaharah.

Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi

81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya

dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan

hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang

mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada

hadits palsu.

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada

matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu

dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita

menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan

(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai

ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan

keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu

berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.

Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku

maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari

hadits no.110),

Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama

seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap

mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif

berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan

ucapan Rasul saw.

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman

Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka

membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan

tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila

mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman

dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka

ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang

mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai

derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits

berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya

sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum

matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300

ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut

: Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah,

dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.

(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al

Atsqalaniy).

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal

1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii

rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.

Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii

lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari

lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian

kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam

syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii

sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi

Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan

pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka

menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,

seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi

fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami

dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah

berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah,

memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini

sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena

buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu,

bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang

ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa

fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk

merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.

Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si

penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin

Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas

pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad

dalam terjemahannya?

Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini,

bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta

hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad

haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits

yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan

Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat

tertuliskan?, mengapa?

Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan

saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan

pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan

waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya

cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin

10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi

sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak

ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada

pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.

Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya

(talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada

pada mereka.

Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun

paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci

dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah

akan segera diketahui karena banyaknya ulama.

Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu

berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana

ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari

gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti

selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.

Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia

mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw.

Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada

buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak

berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang

bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang

penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak

sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang

demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu

diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu

sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat

hukum semaunya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang

membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam

hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau

berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan

Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya

salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.

Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru

bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa

pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul

Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin,

maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula

Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun

tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul

Qadir juz 1 hal 433)

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan

menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati

dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.

Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus

hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu

mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk

diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka

dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para

Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih,

tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh

diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan

yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw,

namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,

Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf :

“dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah

terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun