Mohon tunggu...
Dzaki Aribawa
Dzaki Aribawa Mohon Tunggu... -

Pelajar di SMA Negeri 8 Jakarta | Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Malu Telah Terkikis

11 April 2016   20:31 Diperbarui: 11 April 2016   20:41 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

" Shame is a soul eating emotion" -C.G. Jung

Seperti yang dikatakan oleh psikiater Swiss, C.G. Jung, malu merupakan sebuah tindakan dari jiwa (dan hati) yang mengalahkan emosi, entah itu berlangsung terus menerus atau hanya sesaat. Dalam perasaan seorang manusia, perasaan malu hadir ketika seorang manusia bertindak tidak sesuai dengan hati nurani nya, yang biasanya berdasar pada norma di lingkungan dimana ia berada. Di Indonesia sendiri, saya melihat norma menjadi sebuah tolak ukur di kalangan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari kalangan itu sendiri, terlepas norma tersebut memliki keterkaitan dengan ranah hukum maupun tidak.

Norma yang  berkembang di masayarakat Indonesia sendiri saya lihat sebagai penggabungan dari beberapa unsur, yakni agama, masyarakat, dan terkadang hukum sebagai tindakan kontrol dari pemerintah. Lantas dimana peran hati dan perasaan? Hati dan perasaan berperan penting dalam menilai dan menyortir norma tersebut, baik itu realistis atau tidak, masih pantas atau sudah ketinggalan zaman, dan sebagainya.

 Sebagai contoh, orang-orang yang menamai diri mereka LGBT mungkin sudah menganggap norma yang telah ada di masyarakat Indonesia mengenai orientasi seksual sudah ketinggalan zaman dan terkesan kuno, karena negara-negara maju seperti Amerika dan negara Eropa lainnya sudah melegalkan dan menganggapnya sebagai hal lumrah yang tidak lagi perlu diperdebatkan.

Saya menganggap bahwa penilaian dari sebuah norma akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, sehingga saya sendiri tidak bisa menyebutkan bahwa semua norma yang berada di masyarakat itu benar seluruhnya, ataupun salah seluruhnya. Tindakan RA Kartini di masa lampau yang dianggap melanggar norma dan nilai dikala itu, ternyata amat penting dan berpengaruh bagi kehidupan para kaum wanita di zaman setelahnya, bukan hanya di Indonesia, melainkan seluruh dunia. Dari dua contoh pandangan "pelanggaran" norma sebelumnya, saya lebih memilih untuk tidak menanggap mana yang benar mana yang salah. Sekali lagi, ini adalah masalah hati dan perasaan untuk menilai benar tidaknya. 

Perasaan malu sangat manusiawi ketika adanya anggapan kesalahan dari apa yang kita perbuat. Sekarang tinggal bagaimana kita mampu untuk menilainya, baik benar atau tidak. Anda tak perlu malu, apabila Anda berbeda sendiri dengan orang lain demi membela apa yang memang benar. Namun banyak orang, atas alasan kerakusan dan ketamakan, rela mengacuhkan dan meninggalkan perasaan itu.

Ketika malu telah terkikis, lantas ditinggalkan, kelama-lamaan malu  akan sirna, yang tinggal hanya menyisakkan sebuah pemikiran  bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tapi tentu, untuk orang-orang berpendirian teguh yang memilih untuk berada di jalan yang benar walaupun berada di arus yang  berbeda, tidak akan bergeming dan tetap setia di jalurnya. Namun untuk orang-orang yang rela moral nya dikalahkan oleh ketamakannya, akan selama nya bingung dan penasaran kapan dirinya akan dianggap benar.

Selagi perasaan malu itu masih ada, kenali dia, dekati dia. Tanyalah kepada diri Anda, Apakah aku pantas untuk malu dengan hal ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun