Tanggung jawab etis juga tercermin dalam penggunaan petuah-petuah dan petatah-petitih, yang secara tidak langsung dapat mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati. Garret Hardin dalam The Tragedy of Commons-nya, mengatakan bahwa masalah-masalah populasi tidak memiliki penyelesaian teknis; mereka membutuhkan sebuah perpanjangan fundamental dalam moralitas. Kehadiran tradisi semacam ini dapat membangun kesadaran itu. Bagi masyarakat Lahat umumnya, penggunaan petatah-petitih dalam percakapan biasa dilakukan. Salah satu corak yang saya temukan di dalamnya adalah bagaimana masyarakat lokal menyerap alam sebagai formulanya, untuk kemudian digunakan dalam nasehat-nasehat tentang bagaimana berinteraksi dengan alam sekitar, termasuk kepada sesama manusia. Contohnya 'Jangan beburu setue', yang artinya jangan berburu harimau, lebih ditujukan untuk kesadaran seseorang akan kekuatan dirinya sendiri, untuk memahami siapa yang dilawannya, dan 'Nebang batang nanam mughak' yang berarti menebang pohon menanam biji, yang dimaksudkan untuk perilaku tabur tuai---bahwa sebaiknya berpikir dahulu sebelum bertindak, karena akan ada penyesalan bila hal yang dilakukan itu buruk.
Membentuk mentalitas peka lingkungan dimulai dari kepemilikan nilai-nilai etis. Kesadaran itu dibangun lewat pembiasaan narasi yang hendaknya dapat dirasukkan lewat pendidikan sedari dini. Inilah fondasinya---kesadaran identitas. Identitas ini dapat memperkuat motivasi seseorang untuk mendukung pelestarian spesies karena adanya keterhubungan emosional dan historis. Siapa saya, berasal dari manakah saya, menjadi sangat penting mengingat laku sembrono kita sebagai manusia selama ini kepada alam sekitar.
Terbangunnya kesadaran individu dalam menghayati lingkungan---bahwa manusia tidak bisa lepas dari alam---akan melahirkan kemauan mandiri dalam menelaah orientasi pemanfaatan lingkungan yang sehat. Ini akan menjadi penting bagi seseorang yang berniat untuk terjun langsung menghadapi masalah lingkungan, di masa depannya; selain membiasakan diri dengan ruang-ruang dialog untuk akses informasi terbaru seputar lingkungan (Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia dapat menjadi pilihan terbaru belakangan ini) dan terjun ke pekerjaan yang lebih praktikal-personal, yakni hidup berkesadaran sedari lingkup keluarga batih, seseorang bisa melibatkan diri dalam transformasi narasi, tradisi, atau cerita lisan ke bentuk-bentuk arsip yang gampang diakses.
Sebagai seorang penulis, saya sering menemukan promosi pelestarian lingkungan dalam sastra tulis. Berbasis pengetahuan masyarakat lokal tentang Harimau, Indonesia memiliki penulis-penulis seperti Mochtar Lubis, Guntur Alam, Eka Kurniawan, sampai Motinggo Busye. Â Hampir sebagian besar karya membebankan jalan cerita dalam kacamata moral, bahkan tak segan menawarkan dimensi-dimensi berlawanan namun bersilurus sebagai sebab (ekologi-kosmologi). Dalam Soni Sukmawan (2016), Ekokritik Sastra : Menanggap Sasmita Arcadia, Sastra ekosentris dan pembacaan sastra bersentra ekologi dianggap mampu menjelaskan, bahwa sastra merupakan produk kreatif alam dengan memposisikan manusia bukan sebagai pusat, melainkan menjadi bagian integral di dalamnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sastra lingkungan dapat menjebak penulisnya sendiri dalam tulisan-tulisan yang cenderung didaktik dan menggurui---yang mana justru bisa menghambat penyebaran isu lingkungan itu sendiri. Dibutuhkan cara yang inovatif dan segar untuk menggambarkan dunia alam (Iman Al-Khalidi (2023) dalam Environmental Literature and The Importance of Nature In Writing). Apa gunanya bila informasi itu penting namun tulisannya justru membosankan, bukan?
Beruntungnya, media sosial kini telah memungkinkan jangkauan yang lebih luas dan interaksi yang lebih partisipatif, disokong pula dengan kecepatan distribusi informasi. Seseorang tidak hanya bisa menulis, tapi juga bisa memproduksi konten edukatif yang menarik atau menggunakan platform tertentu untuk berbagi cerita, foto, atau video terkait. Dalam presentasi berjudul 'Melawan Kehilangan Keanekaragaman Hayati Indonesia', yang disampaikan oleh Prof. Satyawan Pudyatmoko dalam Forum Bumi (diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia), ditekankan pentingnya upaya perlindungan keanekaragaman hayati melalui kerangka kerja Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework. Kegiatan dokumentasi komprehensif dapat sejalan dengan prinsip global goals 2050 : 'Living in Harmony with Nature', sebagaimana diamanatkan oleh kerangka tersebut, yakni partisipasi masyarakat secara inklusif. Pada akhirnya, kehadiran dari sastra tulis, pembuatan konten bermutu, pemanfaatan aplikasi mobile, dapat menjadi jejak arsip atas pemahaman---dan penguasaan pengetahuan atas---tradisi dan ekspresi lisan masyarakat lokal, yang kelak berguna dalam menjaga alam.
Pembenahan atas kerusakan habitat satwa liar sejatinya membutuhkan sinergitas dari berbagai aspek dan pemangku kepentingan, sebagaimana dilansir dari artikel Mongabay berjudul 'Panas Bumi di Sumatera Selatan, Antara Energi Bersih dan Habitat Harimau (2024)' bahwa panas bumi adalah salah satu energi terbarukan, namun kegiatan alih fungsi lahan dan deforestasi areal tapak untuk pengoperasiannya dapat saja mengganggu, salah satunya, habitat bagi Harimau Sumatera sendiri.
Ada petitih yang dikatakan Wak saya sebelum kami mengakhiri percakapan kami tentang Puyang : Dek tau ngiluk'i, jangan merusak jadilah, yang artinya bila tak mampu memperbaiki, cukuplah untuk tidak merusaknya. Ini menjelaskan bahwa sebagai manusia, kita mesti menyadari potensi diri kita sebagai sumber masalah, sehingga wajib membikin batasan. Bila karena kesembronoan manusia harimau jadi menghilang dari jagad hutan, maka hilang pula identitas kami---ini seperti menghadapi kenyataan bahwa kota Lahat, di masa depan, bisa saja kembali pada definisinya yang ansich; dikenang bukan dari sisi historisnya akan satwa-satwa identitas, melainkan sebagai kota liang, yang mengubur semua identitas manusianya dalam sejarah kecerobohan yang buruk.
Jauh, lebih buruk.
*
DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya---dengan nama pena Dee Hwang---merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Kegiatannya dalam konsep hidup berkelanjutan didokumentasikan di Instagram & Threads : @hellodeehwang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H