Pengalaman pahit ini selalu melekat dalam ingatan saya bahkan berdampak pada psikis saya.Seumur hidup baru kali ini saya menemui tradisi suatu kampung yang ndak umum bagi saya.Dari sisi suasana kampungnya saya suka hawa yang sejuk dan dingin, di pegunungan melengkapi suasana tentram jika saya menghabiskan waktu libur kerja.
Di sisi lain SDM masyarakatnya yang bisa di bilang terbelakang atau tertinggal inilah yang merusak suasana libur atau jika ingin bertempat tinggal di daerah itu.
   Pada tahun 2015 saya menikah dengan pemuda lugu dan korban bencana alam, pertemuan kamipun bisa di bilang sangat unik karena belum pernah bertemu sekalipun ndak tahu bagaimana latar belakang orangtuanya, yang saya tahu pemuda itu korban bencana alam ketika di suruh bersihkan abu gunung kelud yang meletus di tahun 2013 lalu di atap rumah tente pacarnya.
Dia terjatuh dan mengalami cidera kaki dan retak tulang belakanya hingga mengakibatkan cacat permanen, ketika kejadian itu dia terbaring sangat lama menjadi bunga ranjang bahkan ke kamar mandipun harus ngesot, dan waktu keadaan seperti itu pacarnya justru meninggalkan dia dan menikah dengan orang lain.Sungguh miris mendengar perjalanan hidupnya, itulah yang membuat terketuk hati saya dan berkomitmen untuk menikah.
    Persiapan pernikahan mulai saya persiapkan semua sudah tertata rapi 2 bulan sebelum hari H mengurus pindah tempat, menu, dekorasi, perias, photografer, rumah lengkap dengan perabotnya,dll walau saya mengkonfirmasikan semua via phone karena saya di luar kota.3 hari sebelum hari H saya datang langsung menempati rumah yang telah saya persiapkan calon suami yang mengurus pencarian dan penataan rumah itu saya transferkan uangnya.
Lalu acara pernikahanpun berlangsung tapi saya ndak menghadirkan pihak keluarga saya karena saya ndak mau kecewakan orangtua dan sanak family saya karena di keluarga kami masih berprinsip tradisional mengutamakan bibit, bebet, bobot.Pernikahan kami menjadi sorotan masyarakat sekitar karena ndak ada kabar sebelumnya kok tiba tiba menikah, mereka ndak tahu jika semua sudah saya persiapkan lewat jarak jauh, selain itu ketidakhadiran pihak keluarga saya menjadi pusat tanda tanya di pikiran mereka, tapi cukuplah saya yang tahu apa alasannya.Pernikahan berjalan lancar, selama beberapa hari menjadi pengantin baru biasa saja hingga saya kembali ke luar kota lagi karena pekerjaan saya di sana, suami jaga rumah dan menjaga orangtuanya yang hanya beda rt dengan rumah kami.
     Saya mulai berfikir bagaimana cara bahagiakan suami saya yang keadaannya seperti itu yang dari kecil selalu hidup susah, saya ingin dia merasakan kebahagiaan yang selama ini belum pernah dia dapatkan, pikir punya pikir saya menemukan ide rumah sudah lalu saya belikan motor dan mobil mungkin cara itu bisa bahagiakan dia.Akhirnya semua fasilitas sudah lengkap dia bahagia sayapun penuh sukacita bisa memberikan semua itu, damai dan sejahtera menyelimuti keluarga kecil kami.
Namun....
Ternyata cara saya membahagiakan suami salah, cara saya memancing kecemburuan sosial bagi sekelilingnya yang ndak pernah saya pikirkan sebelumnya, saya hanya berpikiran positif bagaimana cara bahagiakan suami saya.Â
    Satu tahun pernikahan kami berjalan waktu itu saya habis pulang untuk berlibur di kampung itu saya ajak suami saya jalan jalan ke luar kota biar dia senang karena dia belum tahu mana mana dan juga sempat berkunjung ke rumah kakaknya di bandung.Padatnya acara libur saya yang sering ke luar kota terkadang menghambat perkenalan saya dengan tetangga, ya mereka berkunjung ke rumah kami tapi saya belum bisa hafal namanya satu per satu hanya beberapa orang saja yang saya hafal nama dan orangnya, tapi mereka sudah kenal saya karena warga baru .
   Dari hati yang menyimpan kecemburuan sosial timbullah ingin menghancurkan namun mereka bingung lewat jalan apa karena saya juga jarang di rumah, di rumahpun saya sibuk berlibur ke luar kota dan saya memang ndak pernah usil dengan kehidupan orang apalagi belum kenal, saya sudah biasa tinggal di kota tahunya hanya kerja dan keluarga beda dengan di pedesaan kadang mereka masih punya kesempatan untuk mengurusi atau memandangi kehidupan tetangga. Namun celah itu tetap ada...mereka mencari kesalahan lewat mertua saya yang sudah beda rumah dan beda rt.Bapak mertua saya ada gangguan mental ( maaf ) dari dulu dan semua warga situ sudah tahu.Bapak mertua punya satu kesalahan dengan satu warga orangtuanya murti, Bapak mertua mengambil barang milik orangtua murti, namun besoknya sudah di kembalikan saya mewakili meminta maaf dan memberikan uang sebesar 500.000 sebagai iktikad baik kami walau ndak ada kerugian.Ada satu preman kampung yang menggunakan kesempatan itu kesalahan bapak mertua di jadikan ajang pemerasan, dia meminta uang sebesar 15 juta kepada kami atas kesalahan bapak mertua, padahal sunar ini orang luar, saya tahu ini ke arah pemerasan dan menurut suami saya orang ini sudah terbiasa bertindak seperti itu di kampungnya, Saya turuti mau sunar tapi ini di luar kasus mertua saya, ini urusannya dengan saya. Yang mengurusi kasus ini ada dua kaur desa pak mono dan pak rahmat dan pak rt setempat, ada kejanggalan tata cara perangkat desa di sini dalam mengemban tugas, sama pak mono justru di buatkan surat pernyataan bahwa kami menyumbang 15 juta yang di rupakan tiang listrik  menurut saya ini peraturan yang sangat keluar dari peraturan negara, karena suami takut tertekan maka di tandatangani saja, di dalam pernyataan itu di bawah tertera penanggungjawab wakil warga " ini kan kasus individu kenapa ada perwakilan warga? ".Saya tetap tegas bahwa" yang meminta uang 15 juta itu sunar maka uang harus saya berikan sunar, keesokan harinya saya menyuruh suami saya untuk membuat surat pernyataan serah terima keuangan kami sanggup membayarkan uang yg di minta oleh sunar dengan jumlah nominal yang di minta, saya suruh tulis dengan jelas dan penanggungjawab harus tertulis sunar bukan wakil warga, sunar harus ttd bermaterai tanda serah terima uang, namun sunar ndak berani menandatangani takut saya penjarakan, uang ndak jadi kami berikan dan dendampun berkepanjangan.