Mohon tunggu...
Chaharudin Mahkota Budi
Chaharudin Mahkota Budi Mohon Tunggu... -

just simply man and not a superman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah (kok) Harus Serius?!!?!?!

13 Desember 2014   05:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:24 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuliah (Kok) Harus Serius?!!?!?

“ingat harapan orang tua”

“biar ndak molor, biar cepet lulus”

“biar bisa dapet kerja enak” dst. . . .

Tak perlu muluk-muluk membahas tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang esensinya adalah memanusiakan manusia (humanisasi) atau untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan seperti kata tan malaka. Berapa banyak dari kita yang mendengar atau bahkanmengatakan sendiri kutipan pragmatis diatas? Ya, kutipan seperti itu memang sangat relistis sih buat mahasiswa seperti kita yang kebanyakan masih social climber dan ekonomi masih cukup pas-pasan. Boro-boro mikirin pengabdian atau mencipta penemuan buat banyak orang, buat hidup sendiri yang nantinya akan direpotkan oleh cicilan kendaraan dan susu bayi yang harganya tidak jauh beda dengan susu penguat tulang saja kita sudah bingung.

Bukan hal yang mengherankan jika hari ini kita mempersiapkan senjata buat mengarungi hidup di masa depan yang tak tentu arah nantinya. Anggapan bahwa pendidikan adalah salah satu cara mobilitas vertical yang ampuh, membuat banyak orang berlomba-lomba menggapai pendidikan tinggi serta mengoleksi ijazah dan berharap hal itu berguna sebagai jimat pengasihan untuk hidup yang lebih mapan. Masalah pendidikannya berguna nyata bagi orang banyak atau berdampakpositif itu hal lain yang dipikir belakangan. Yang penting perut kita tetap terisi, dapur tetap ngebul, syukur-syukur jika dapat bonus gengsi dari pendidikan itu, sehingga kita bisa angkat kepala dan busungkan dada jika bertemu teman-teman masa kecil di desa.

Namun hal yang tidak kita sadari adalah bahwa dunia ini semakin dinamis dan akan terasa semakin sempit. Dengan gelar S.Pd saja kita sudah bisa jadi konsultan pendidikan pak lurah atau pak carik di kampung kita. Tentunya itu jika kita hidup 20 tahun yang lalu. Namun saat angin tak terlihat yang bernama globalisasi itu berhembus semakin kencang sampai merambah daerah terpencil, dan burung besi yang ditemukan orville dan Wilbur wright semakin aktif mondar-mandir di angkasa mengantar produk-produk Negara lain nun jauh disana, inilah saat dimana orang tidak lagi bertanya what do you have?, tapi what can you do?

Tumpukan serta jajaran ijazah dan sertifikat akan sangat indah jika terjajar di lemari kita nantinya. Itu kalau kita dibayar hanya untuk memandang. Namun jika kita harus memutar otak mengatur hidup yang masih ruwat dan masih menjadi social climber serta berharap memiliki pemasukan lebih buat ber-weekend ria bersama sanak keluarga ke pulau terpencil nan eksotis di akhir pekan, barulah kita sadar bahwa banyak dari kita have many things but can’t do anything. Dan pada saat itulah mungkin kita merapal mantra seandainya seandainya seandainya.

Dunia memang bergerak sangat cepat, bahkan geraknya lebih cepat dari mahasiswi genit yang berjalan dari parkiran fakultas menuju ruang kelas perkuliahan. Jika dahulu S1 saja sudah cukup, maka sekarang orang –orang berlomba mencapai S2 S3. Tanpa mereka sadari paman sam sudah memiliki warga Negara yang berorientasi pada penemuan dan pengabdian seutuhnya. Hasilnya lebih jelas, Iphone, Microsoft sampai gaya hidup hipster pun yang dipopulerkan oleh Janis Joplin ratu hipster sejagat konon kabarnya tak tamat bangku kuliah. Sekali lagi, tulisan ini bukanlah propaganda atau ajakan untuk mengesampingkan perkuliahan atau mencari massa untuk DO. Namun sekadar mengajak bercuap-cuap tak jelas masalah tujuan kita menggapai pendidikan.

Minimnya pandangan hidup dan sempitnya pergaulan mungkin menjadi salah satu factor kita mengagungkan pengakuan. Beranggapan bahwa hidup akan lebih baik dan masalah akan selesai dengan tumpukan ijazah dan sertifikat saja, mirip-mirip dengan mbakyu-mbakyu berjubah yang berteriak apapun masalahnya, khilafah solusinya di depan kampus pada pagi hari. Beruntungnya penulis jarang kuliah pagi. Sehingga terbebas dari ancaman rajam karena mungkin kendaraan bermotor dan pomade rambut adalah bid’ah bagi mbak-mbak tersebut. Ehh maaf, mbak-mbaknya lebih senang dipanggil ukhti daripada mbak.

Yang juga menjadi factor lain dari sempitnya kita memaknai pendidikan kita sendiri adalah hal-hal yang diturunkan pada kita. Sulit dihitung berapa kali dosen mengatakan dan mengarahkan kita untuk jadi pegawai negeri. Lantaran jadi guu PNS sangat nyaman, ditambah dengan sertifikasi yang lumayan. Sehingga di kalangan rekan-rekan muncul alur pemikiran untuk segera tuntas kuliah dan menjadi guru yang terjamin. Namun untuk menjadi guru pun masih harus menghadapi persaingan, jika tidak punya uang pelican maka harus terima nasib untuk menempuh jalan berputar ikut SM3T supaya gratis PPG. Jika dipersingkat maka, kuliah, lulus, SM3T, PPG, PNS. Bahkan program yang terlihat seolah pengabdian pun sengaja dilakoni untuk memuluskan rencana pribadi. Bagaimana jika mengajar di pelosok tanpa ada jaminan gratis PPG? Mungkin tidak seantusias dan sebanyak saat ini peminatnya. Mengutip perkataan pramoedya ananta “keinginan menjadi pegawai negri adalah alasan korupsi sulit diberantas. Pegawai negri sudah bertumpuk-tumpuk, dan pendidikan yang membentuk itu semua

Dari hal diatas, maka tidak heran jika kita mengesampingkan tujuan mulia pendidikan seperti memanusiakan manusia, bermanfaat bagi orang lain, mencipta sesuatu ataupun hal paling sederhana seperti menjadi orang baik. Sekolah dan kampus kita lebih mirip pabrik yang mencetak orang-orang dengan jimat bernama ijazah yang melegalkan orang tersebut melakukan sesuatu sesuai bidang keilmuannya, namun belum tentu layak melakukannya. Pendidik tidak mengarahkan kita mencipta sesuatu yang membuat kita berdikari, namun mengarahkan kita mengikuti arus dan alur yang sudah disediakan. Kita harus lebih terbuka, lebih luas dalam memandang dan lebih dalam saat berencana. Penulis sendiri bukanlah filsuf ataupun manusia yang ahli dalam kehidupan. Penulis hanya mahasiswa juga yang terkadang tidak lepas juga dari sifat pragmatis. Penulis hanyalah pelamun, yang gemar menggelar tikar di taman kampus dan mencoba belajar dari bangku kehidupan.

Penulis adalah mahasiswa S1 prodi PPKn FIS Unesa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun