Mohon tunggu...
Chaharudin Mahkota Budi
Chaharudin Mahkota Budi Mohon Tunggu... -

just simply man and not a superman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus, Tempat Ilmiah atau Hutan Rimba

21 Desember 2014   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:47 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu tanpa sengaja saya membaca sebuah tulisan dari Rhenald Kasali, seorang guru besar Universitas Indonesia mengenai pendidikan karakter. Jika tidak salah judulnya adalah “Budaya Menghukum” sebuah tulisan yang menurut saya kurang lebih mencerminkan pendidikan di Indonesia lebih tepatnya bagi pendidikan tinggi. Tulisan tersebut menggambarkan betapa “kejam” pendidik di Indonesia. Di saat guru-guru di Negara lain telah sibuk dalam merampungkan pendidikan karakter yang membangun manusia menjadi sosok mulia dengan penuh apresiasi dan menghargai karya cipta. Pendidik kita masih suka dan hobi menelan, mencincang dan melumat mahasiswa di ruang sidang. Bukan hanya dongeng rupanya cerita-cerita semacam itu. Karena saya sendiripun sebagai mahasiswa sering mendengar kisah-kisah yang tak kalah mengerikannya dari kisah azab ilahi tentang senior-senior semester akhir yang harus terima nasib karena dipertemukan dengan dosen pembimbing yang mirip anak kecil yang merebut permen dari bayi. Tentunya hal itu hanya dilakukan anak-anak yang mungkin terlampau kekurangan, karena jika anak sehat, waras dan berkecukupan tidak akan tega merebut permen dari bayi.

Kampus selama ini diidentikkan sebagai tempat ilmiah dan akademis. Terkadang hal ini malah membuat penghuninya merasa menjadi middle class elite yang memiliki tempat tersendiri yang terpisah dari kalangan masyarakat bawah. Meski begitu, didalam kampus sendiri sebenarnya ada tataran hierarki antara dosen dan mahasiswa. Kampus yang belum bisa move on dalam budaya feodal biasanya masih memosisikan dosen mirip dengan raja-raja. Masih ada kebiasaan salim yang dipaksakan, panggilan terhadap gelar pendidikan bahkan waktu dan situasi yang diistimewakan karena merasa memiliki derajat lebih tinggi. Hal ini perlahan-lahan membuat mahasiswa tunduk dan sendiko dawuh terhadap pendidiknya. Pada akhirnya bukan sebuah kebebasan berpikir yang menghasilkan hal-hal baru yang dicapai namun tertanamnya sifat pengikut dalam diri mahasiswalah yang dihasilkan. Sehingga bisa dibilang berpikir dan karya ilmiah yang bagus adalah berpikir dan berkarya sesuai keinginan dan standar dosen yang mungkin juga kurang ilmiah. Betapa menyedihkan nasib pendidikan dan betapa kasihannya penghuni kampus. Mahasiswa yang datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya dan dibiayai dengan jungkir balik orang tuanya terkadang harus rela diterkam oleh pendidik. Hasilnya bukan ilmu pengetahuan murni yang didapatkan, namun hanya selembar ijazah serta mental pengikut yang tertanamlah yang dibawa pulang.

Dalam pendidikan yang memanusiakan manusia, ruang kebebasan berpikir harusnya mutlak diberikan. Selain itu akan lebih bagus jika ditambah dengan penghargaan dan apresiasi karya yang mendorong seseorang berkembang hingga batas kemampuannya. Bimbingan yang manusiawi juga perlu supaya tidak ada nuansa tekanan dalam mencari dan menyelidiki pengetahuan. Dengan begitu walaupun tidak begitu terampil dalam hal akademis, namun seseorang akan merasa dihargai dan dimanusiakan. Bukan merasa seperti seperti kelinci yang menunggu ajal diantara kumpulan burung nazar. Selama ini berpikir sedikit nakal adalah hal yang haram dan dilarang. Sehingga pikiran-pikiran yang mendobrak pun sangat sulit diciptakan. Ruang sidang ibarat jembatan siroth menuju akhir bahagia namun diantaranya membentang api menyala-nyala yang kemungkinan besar kita akan jatuh kedalamnya. Sungguh sebuah hal yang menjemukan jika kita harus belajar dengan lingkungan yang mengekang dan mirip hutan rimba, dimana dia yang terlahir buaslah yang akan menerkam.

Menganalogikan kampus dan hutan rimba memanglah hal yang kurang tepat. Karena di hutan rimba sekalipun tidak akan ada seekor harimau yang berlari kencang demi memangsa seekor lalat. Namun dikampus tidak menutup kemungkinan dosen mulai dari S2, S3 hingga bergelar professor pun tega menguliti dan menyiksa mahasiswa di kehidupan sehari-hari sampai pada hari penghakiman. Nampaknya hutan rimba masih terlalu lembut jika dibandingkan pendidikan kita. Dan sepertinya kata ilmiah adalah sebuah kata yang derajatnya lebih tinggi dari rimba, namun entah dari hal yang mana.

Dari hal-hal tersebut, kita bisa mengetahui bukan gelar yang tinggilah yang membuat evolusi makhluk hidup menjadi sempurna. Namun diperlukan kebesaran hati untuk merubah diri perlahan-lahan dan menghapus rasa buas dalam diri kita. Bukan deretan angka tinggi di IPK yang membuat mahasiswa menjadi manusia mulia, namun kebersihan hati, rasa cinta terhadap kemanusiaan lah yang menjadikannya orang baik. Bukan deretan gelar pula yang membuat dosen dihargai, namun kerelaannya untuk merendahlah yang akan menghilangkan naluri memangsa makhluk yang lebih lemah darinya.

Pada akhirnya kita harus insyaf, bahwa kita adalah manusia bukan binatang. Kita tidak perlu menunjukkan kebuasan dan kegagahan untuk terlihat sebagai yang utama dan istimewa. Cukup rasa cinta terhadap sesama manusialah yang membuat kita semakin terlihat gagah dan disegani. Dan kita juga harus sadar bahwa dunia pendidikan dan juga kampus kita bukanlah hutan rimba. Tidak ada yang terlahir lebih kuat untuk memakan yang lemah. Perbedaan posisi antara dosen dan mahasiswa adalah untuk membimbing dan berjalan beriringan menuju hidup yang lebih baik. Dengan jalan setapak bernama ilmiah, kita semua harus keluar dari rimbanya pendidikan kita dan menyempurnakan evolusi nurani kita, dari binatang buas menjadi manusia seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun