Pandemi Covid-19 di Indonesia sempat melumpuhkan berbagai aktivitas dalam kehidupan. Covid-19 merupakan salah satu wabah yang mematikan. Covid-19 disebabkan oleh jenis virus bernama SARS-Cov-2 yang menular melalui droplet atau partikel air yang berasal dari saluran pernapasan melalui batuk maupun bersin. Terdapat banyak upaya pencegahan dan kebiasaan baru yang harus dilakukan untuk mengurangi penyebaran Covid-19 ini. Hingga ditemukan vaksin untuk menangani Covid-19 ini. Berbicara mengenai wabah dan pandemi, Indonesia juga pernah mengalami penyebaran wabah pada abad 19. Salah satunya yaitu wabah Pes. Meskipun memiliki kesamaan berupa wabah penyakit menular, namun keduanya memiliki penanganan yang cukup berbeda, dapat dilihat dari masa keduanya yang bertaut cukup panjang.
Wabah Pes merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bernama yersinia pestis (pes). Bakteri pes menginfeksi hewan seperti tikus. Kemudian penyakit ini ditularkan oleh kutu dari tikus yang terinfeksi pes kemudian menggigit manusia. Penyakit ini menular melalui udara yang dapat terhirup manusia sehingga dapat menyerang getah bening, paru-paru, dan pembuluh darah. Pada masa itu, wabah ini merupakan salah satu wabah yang mematikan. Pada masa pemerintahan kolonial, tepatnya sekitar tahun 1905, Indonesia mengalami peristiwa gagal panen. Hal ini menyebabkan persediaan makanan untuk masyarakat semakin berkurang. Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia melakukan impor beras dari Rangon, Myanmar pada Oktober 1910. Padahal pada masa itu, Myanmar sedang mengalami epidemi pes. Beras didistribusikan ke wilayah-wilayah di Indonesia untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi. Awalnya beras didistribusikan ke wilayah Indonesia melalui Surabaya. Ketika beras akan didistribusikan ke daerah lain, terjadi banjir yang menyebabkan jalur kereta api antara Wlingi dan Malang terputus. Maka dari itu, beras harus disimpan di gudang penyimpanan Malang terlebih dahulu. Hal inilah yang menjadi awal penyerangan wabah pes. Malang memiliki suhu yang lebih dingin dan saat itu bertepatan dengan musim penghujan yang mana menyebabkan perkembangbiakan kutu sangat tinggi, sehingga penyakit pes ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebar ke seluruh wilayah.
Menurut Departemen Kesehatan dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid II, awal mula penyebaran wabah pes di Jawa dapat diklasifikasikan menjadi 4 jalur. Jalur yang pertama yaitu Surabaya pada tahun 1910 yang kemudian masuk ke Malang, Kediri, Madiun dan Yogyakarta. Kemudian jalur kedua yaitu pelabuhan Semarang pada tahun 1919 yang menjalar ke Ambarawa, Salatiga, Magelang, hingga Banyumas karena aktivitas perdagangan. Jalur ketiga pada tahun 1922 bermula dari pelabuhan Tegal dan menyebar hingga Bumiayu. Kemudian jalur terakhir yaitu pelabuhan Cirebon pada 1924 yang menjalar ke Kuningan hingga Bandung.
Wabah pes mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Setelah beras impor dari Myanmar disimpan di gudang Malang, sebulan setelahnya terdapat 17 orang yang dilaporkan meninggal. Jumlah korban terus meningkat. Masyarakat pada masa itu tentu merasa resah karena wabah mematikan tersebut. Jawa berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal itu tentu menjadi sebuah kesulitan bagi masyarakat untuk menangani wabah pes tersebut. Pemerintah kolonial membutuhkan masyarakat hanya untuk dimanfaatkan tenaganya saja. Wabah pes yang menyerang tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah kolonial. Masyarakat pada masa itu memiliki keterbatasan untuk menerima pendidikan sehingga dapat dikatakan bodoh dan terbelakang. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak sadar bahwa rumah tempat tinggal mereka yang mayoritas dibangun dengan bambu merupakan tempat perkembangbiakan tikus yang menjadi tokoh utama penyebaran wabah pes. Pemerintah kolonial tentu tidak melakukan upaya apapun meskipun tahu bahwa rumah penduduk merupakan tempat perkembangbiakan tikus pes. Perbaikan rumah penduduk untuk membasmi sarang tikus ditanggung sendiri.
Dalam menangani wabah pes di Jawa, tentu tenaga kesehatan memiliki peran dominan. Tenaga kesehatan yang ada di Jawa berasal dari kalangan bangsa Eropa. Banyaknya dokter Eropa di Jawa sama sekali tidak membantu penanganan wabah pes. Hal ini dikarenakan dokter Eropa tidak menganggap wabah pes yang menyerang secara serius. Namun karena korban dari wabah tersebut semakin bertambah tiap tahunnya, pemerintah kolonial mau tidak mau harus segera menangani keadaan tersebut. Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk menangani wabah tersebut.
STOVIA merupakan sekolah tinggi kedokteran yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terdapat beberapa masyarakat Jawa yang mengikuti sekolah tersebut, tentunya mereka yang merupakan golongan tertentu. STOVIA menghadirkan lulusan dokter yang kemudian disebut dengan Dokter Djawa. Peran Dokter Djawa cukup besar dalam menangani krisis wabah pes di Jawa. Salah satu tokoh Dokter Djawa yaitu dr. Ciptomangunkusumo. Beliau menangani pasien wabah pes hanya berlindung dengan masker karena kelangkaan alat pelindung diri dan alat medis pada masa itu. Selain itu, dr. Ciptomangunkusumo juga melakukan pidato kepada masyarakat yang berisi mengenai pes, asalnya, dan menunjukkan betapa mematikannya untuk manusia.
Selain itu pemerintah kolonial juga bergerak dengan pemberantasan wabah pes ini dengan mendirikan sebuah lembaga kesehatan dengan nama Burgerlijke Geneeskundigen Dienst (BGD). Lembaga ini berdiri pada akhir abad 19. Lembaga ini menangani pelayanan kesehatan nasional Hindia Belanda. Dalam menghadapi wabah pes, BGD melakukan berbagai upaya. Yang pertama adalah penelitian mengenai wabah pes tersebut. Terdapat sebuah tim dengan ketua Dr. De Vogel dengan 14 orang lainnya yang merupakan Dokter Djawa termasuk dr. Cipromangunkusumo dikirim ke Jawa Timur pada tahun 1911. Selain melakukan penelitian terhadap penyakit, mereka juga melakukan pengobatan terhadap pasien yang terinfeksi pes. Dilakukan pula pembasmian tikus di rumah penduduk. Upaya yang kedua yaitu karantina dan isolasi. Terdapat seorang penjaga atau biasa disebut dengan mantri polisi yang bertugas untuk menjaga daerah yang diberlakukan karantina. Hal ini bertujuan agar wabah tidak makin menyebar. Yang ketiga, BGD melakukan vaksinasi dan desinfeksi. Vaksinasi merupakan upaya preventif untuk menangani wabah pes yang terjadi pada masa itu. Vaksin yang digunakan diproduksi oleh Institute Pasteur. Namun, upaya vaksinasi terhadap masyarakat ini ternyata kurang efektif karena vaksin yang diberikan tidak merata. Dalam arti tidak semua masyarakat menerima vaksin. Desinfeksi dilakukan pada rumah-rumah penduduk sebagai bentuk pembasmian bakteri. Upaya ini pun kurang optimal karena kurangnya sarana dan tenaga. Yang keempat, BGD mendirikan lembaga otonom dengan nama Dienst de Pesbestrijding pada tahun 1915. Lembaga ini dapat dikatakan sebagai satuan tugas yang difokuskan untuk menangani wabah pes.
Upaya penanganan wabah pes dilakukan secara masif baik oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ataupun dari golongan Dokter Djawa. Meskipun terdapat berbagai keterbatasan baik dari sarana, prasarana, maupun tenaga, namun wabah pes di Jawa akhirnya mulai mereda pada tahun 1916. Wabah pes merupakan salah satu contoh wabah dengan tingkat kematian tinggi yang pernah melanda Indonesia. Wabah tersebut dapat mereda dengan adanya upaya preventif oleh berbagai lembaga kesehatan dan masyarakat itu sendiri. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan zaman dan teknologi. Sumber daya manusia pun semakin maju dan lahir berbagai penemuan untuk menghadapi wabah mematikan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H