Baru-baru ini masyarakat Indonesia tengah diterpa dengan berbagai macam berita-berita kejahatan Begal Motor. Kelompok aksi kejahatan ini pada awalnya hanya muncul di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (JABODETABEK). Seiring perkembangannya aksi teror ini menyebar ke berbagai macam wilayah di Indonesia. Kelompok ini melakukan aksi kejahatan tanpa segan untuk melukai korbannya, mereka mengincar beragam target mulai dari pelajar, mahasiswa hingga nasabah bank, mereka beraksi secara berkelompok dengan membawa berbagai macam senjata tajam untuk mengancam korbannya jika melawan.
Kejahatan ini menimbulkan keresahan dan kepanikan bagi masyarakat Indonesia terutama mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Keresahan mereka semakin diperparah dengan banyaknya pemberitaan seputar begal motor yang mereka lihat, baca, dan dengar, salah satu media yang memiliki frekuensi pemberitaan tinggi adalah media online, media online nasional bisa menerbitkan artikel seputar begal motor 4-12 artikel berita per/hari.
Frekuensi pemberitaan begal motor yang cukup tinggi setiap harinya mempengaruhi tiga sisi perilaku manusia. Manusia pada dasarnya memiliki tiga jenis perilaku utama: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan konatif (tindakan). Efek kognitif berkaitan dengan persepsi khalayak terhadap isi berita, pengetahuan teknis khalayak akan tindak kejahatan begal motor, dan penilaian khalayak terhadap realitas. Efek afektif berkaitan dengan perasaan khalayak sesudah membaca berita begal motor meliputi rasa takut dan curiga, serta menyangkut toleransi khalayak akan tindak kekerasan.
Kajian Media dalam hal Konstruksi Realitas menyatakan para awak media sengaja mengkonstruksikan kejadian/peristiwa, mengumpulkan fakta, memilih narasumber, mengambil sudut pandang tulisan/gambar, memilih kutipan, serta menarik kesimpulan. Media massa pada dasarnya merupakan ‘makhluk hidup’ yang membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya agar tidak punah, salah satu kebutuhan media adalah mencari sebanyak-banyaknya audiens untuk mengkonsumsi sajian berita mereka.
Namun, yang sering terjadi belakangan ini pemberitaan kriminal cenderung mengarah ke sensasionalisme dan dramatisasi. Menurut Ibrahim (2011) dalam bukunya Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia mengatakan bahwa ada beberapa cara yang dilakukan oleh awak media dalam menyajikan berita kekerasan dan kriminal ditengah tekanan persaingan antar media.
Pertama, mereka melakukan dramatisasi kekerasan. Drama penganiayaan direkam secara lengkap dan detail, tanpa peduli apa maknanya bagi pemirsa yang tidak terlibat dalam kasus tersebut. Pemberitaan seputar begal motor dalam pemberitaan media online ditulis secara detail dan dipublikasikan secara teratur, mereka memuat seperti apa aksi kejahatan begal motor, siapa korbannya, bagaimana mereka beraksi, dengan senjata apa mereka mengancam korbannya, apa yang mereka rampas tertulis secara jelas. Siapapun audiens yang membacanya mulai dari anak kecil hingga orang tua bisa terpengaruh mulai dari rasa takut yang berlebihan hingga meniru aksi begal motor setelah mendapatkan informasi secara rinci dari pemberitaan di media.
Kedua, mereka melakukan banalisasi fakta, pendangkalan peristiwa. Fakta dibaurkan dengan opini. Dalam artian kejadian nyata dicampur dengan imajinasi para awak media yang terlibat dalam produksi berita. Mereka tidak mendalami lebih jauh terkait penyebab kejahatan begal motor, dan bagaimana menyajikan solusi untuk mencegah atau menanggulangi aksi kejahatan ini, karena mereka dikejar dengan deadline dan tergoda dengan sensasi untuk menarik perhatian khalayak sebanyak-banyaknya.
Ketiga, konstruksi dalam hal pemilihan kosakata atau bahasa untuk melukiskan. Mereka menggunakan bahasa diluar kesepakatan umum, agar bisa mendramatisasi peristiwa seheboh mungkin. Banyak sekali penggunaan kata dalam judul maupun isi berita yang tidak lazim didengar oleh audiens namun dinilai menghebohkan seperti ‘Begal Motor Serang Polisi Pakai Sangkur, Didor’, “Puluhan Begal Motor Diringkus Polres Malang”, “Mulai Jeratan Benang Hingga Sabetan Pedang, Ini Senjata-senjata para Begal”. Kata-kata seperti ‘diringkus’, ‘sabetan pedang’, ‘didor’ umumnya tidak lazim bagi masyarakat terlebih jika kata-kata itu dimuat dalam berita.
Keempat, konstruksi kasus dan korban kekerasan dalam format hiburan. Konstruksi dalam hal pencampuran fakta kekerasan dan logika hiburan menjadikan berita kriminal seperti acara hiburan atau bisa disebut “criminal-taintment”. Aksi kejahatan begal motor merupakan aksi kejahatan yang perlu ditindak secara serius baik oleh aparat hukum dan masyarakat umum, namun tren sekarang pemberitaan seputar begal motor cenderung seperti sebuah hiburan yang dianggap seru dan lucu.
Judul dan isi pemberitaan dibuat ‘unik’ untuk menarik perhatian pembaca, semisal judul “Digerebek Saat Mandi, Begal Kabur Hanya dengan Pakaian Dalam”, “Sebelum Dihakimi Massa, Begal Pondok Aren Sembunyi di Warteg”, “Keberanian Wanita Muda Tahan Sabetan Pedang Komplotan Begal”, “Geng Babe, Rayakan Ulang Tahun dengan Aksi Begal”, “Meski Bermodal “Jimat” Begal Motor ini Tetap Lumpuh Ditembak” merupakan beberapa contoh peristiwa kejahatan yang seharusnya dianggap serius menjadi peristiwa hiburan dan dianggap lucu. Tidak heran bila nantinya masyarakat memandang kekerasan sebagai hal yang wajar, lucu, dan seru.
Para pelaku yang terlibat dalam aksi begal motor mendapatkan porsi liputan yang lebih besar ketimbang para korban membuat media menjadi “sekolah-sekolah kekerasan”. Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Idi Subandy Ibrahim, “sekolah-sekolah kekerasan” inilah yang sukses mensosialisasikan kekerasan lewat media massa ke dalam ruang keluarga Indonesia. Media yang seharusnya bisa menjadi sarana pendidikan positif menjadi sarana pendidikan kekerasan. Tulisan detail mengenai aksi kejahatan begal motor menimbulkan efek trauma bagi para korban dan saudaranya serta menimbulkan keresahan, ketakutan, dan kecemasan bagi pembacanya.
Ada Tujuan ‘Lain’
Kekerasan media massa bisa muncul baik secara fisik maupun verbal, bentuk kekerasan yang disajikan memiliki modus yang sama, yaitu lebih menonjolkan kengerian dan keseraman di mana tujuan pemberitaan itu sendiri (Bungin, 2006, h. 360).
Menurut Pudjiastuti (dalam Bungin, 2006, h. 360), kejahatan di media massa secara umum terbagi menjadi tiga macam. Pertama, kekerasan terhadap diri sendiri seperti kasus bunuh diri, meracuni diri sendiri, dan menyakiti diri sendiri. Kedua, kekerasan kepada orang lain, sampai dengan membunuh orang. Ketiga, kekerasan kolektif, seperti perkelahian massal, komplotan melakukan kejahatan maupun sindikat perampokan. Keempat, kekerasan dengan skala besar seperti peperangan dan terorisme.
Kasus kejahatan seputar begal motor tergolong dalam jenis kejahatan kekerasan secara kolektif dan kekerasan kepada orang lain. Karena mereka bergerak secara kelompok dan tidak segan-segan menganiaya hingga membunuh korbannya jika melawan. Apa yang disajikan oleh media melalui pemberitaan kejahatan, kekerasan dan tindak kriminal memiliki tujuan untuk membangkitkan emosi pembaca/pendengar/pemirsa. Rasa khawatir, was-was, cemas, dan takut yang muncul sebenarnya akan membuat audiens yang menerima sajian kekerasan tersebut untuk kembali menonton, membaca, mendengar sajian berikutnya, karena timbul rasa penasaran untuk menilik lebih dalam. Semakin menyeramkan kekerasan yang disajikan, maka akan semakin diminati oleh audiens dan mereka akan menceritakannya kepada orang lain dan kemudian orang lain tersebut akan mengakses sajian kekerasan yang dibicarakan di berbagai macam media massa.
Sebagai audiens yang mengkonsumsi media setiap harinya harus sadar, bahwa sebenarnya pemberitaan kriminal bukan hanya ‘sekedar’ menginformasikan kita sebagai masyarakat tetapi ada tujuan ‘lain’ yang dilakukan oleh para awak media yaitu tujuan bisnis, informasi tersebut dikemas semenarik mungkin sehingga memiliki nilai jual, inilah yang disebut komodifikasi konten.
Pemberitaan kriminal seperti begal motor yang cenderung menjual sensasi dan drama yang disebarluaskan secara teratur kepada kita sebagai masyarakat bisa membuat kita menjadi pribadi yang terbiasa, nyaman, tumpul rasa simpati dan empati ketika dihadapkan dengan isu kekerasan. Tentunya untuk mencegah hal tersebut, ini menjadi tantangan kita bersama mulai dari masyarakat, kaum akademisi media/jurnalistik, para awak media, lembaga pengawas media hingga peran pemerintah diharapkan untuk saling bekerja secara berkesinambungan dalam membawa kegiatan jurnalistik ke jalur yang benar sesuai kode etik serta mengembalikan peran media sebagai sarana hiburan dan informasi yang positif bagi masyarakat Indonesia. Jangan sampai peran media sebagai sarana strategis dalam melakukan transformasi untuk mencerdaskan bangsa menjadi hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H