Pemilihan presiden akan terlaksana dalam beberapa hari mendatang, untuk kedua pasang kandidat dan para pendukungnya... sekarang adalah masa-masa kritis atau boleh dibilang masa injury time, sedikit saja kesalahan dilakukan, maka kekalahan yang jadi taruhannya. Dalam masa tenang kampanye, maka media lah yang akan sangat berperan. Karenanya, media sekarang seolah digunakan sebagai senjata... senjata untuk melumpuhkan lawan, dan sebagai pendukung dan penonton... hendaklah kita pintar-pintar dalam memilih, memilah dan bersikap, supaya tidak ikut menjadi korban.
Meski diawal masa pencalonan elektabilitas pasangan Jokowi-JK sangat lah jauh melampaui pasangan Prabowo-Hatta dengan mengantongi elektabilitas sekitar 25,32 persen dan mengalahkan Prabowo-Hatta yang hanya memperoleh 18,14 persen, tetapi dalam waktu 2 bulan masa kampanye, perlahan tapi pasti elektabilitas Prabowo-Hatta meningkat sedangkan elektabilitas Jokowi-JK cenderung menurun. Bahkan sekarang ada beberapa lembaga survey yang merilis hasil yang menunjukkan hasil dimana elektabilitas Prabowo-Hatta melampaui Jokowi-JK dengan margin 1,5%.
Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat elektabilitas tersebut, dan saya mencoba menganilisis nya dengan refferensi dari berbagai berita di media...
1.   Adanya perintah kepada kader PDIP yang muslim untuk memata-matai setiap khutbah di masjid, tentu ini sangat menyinggung kaum muslim, karena tindakan tersebut mengesankan seakan-akan para khatib di masjid-masjid sebagai alat bagi kepentingan politik tertentu.
2.   Orang atau masyarakat cenderung mengalami kejenuhan dengan gaya kampanye dari Jokowi yang mengandalkan gaya blusukannya, karena masyarakat juga berpikir skala nya... sekarang adalah skala pemilihan presiden yang akan membawa nama negara di dunia internasional, jadi... mereka menganggap tidak cukup hanya bermodal blusukan belaka.
3.   Menanyakan masalah HAM pada saat debat capres-cawapres, yang malah berbalik menjadi bumerang untuk kubu Jokowi-JK... karena didalam koalisi mereka juga didukung oleh para jendral yang notabene juga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM dimasa lalu. Dan Kondisi itu membuat banyak orang yang mencari berita di media dan akhirnya angkat bicara... meski ada yang percaya, tetapi... banyak juga yang menyangkal dan malah melakukan pembelaan terhadap Prabowo, termasuk pembelaan dari orang-orang yang notabene adalah korban peristiwa 1998.
4.   Pernyataan dari Prof. Musda Mulia (salah satu anggota timses) yang sering menjadi isu negatif yang berbalik menyerang kubu mereka sendiri, seperti soal penghapusan kolom agama dari KTP dan mengatakan siap mencabut Tap MPR No XXV Tahun 1966 tentang larangan komunisme dengan dalih membangun Indonesia tanpa diskriminasi, bila Jokowi menang sebagai presiden. Isu sara dan komunisme sangatlah sensitif untuk masyarakat Indonesia.
5.   Penampilan Jokowi-JK pada saat debat terbuka yang dilaksanakan oleh KPU tersebut bearada dibawah performa yang diharapkan. Baik Pak Jokowi maupun Pak JK kurang menguasai dalam pemaparan dan contoh-contoh atas visi misi yang diusung, yang agak fatal adalah pada saat debat capres mengenai ‘Politik Internasional dan Ketahanan Nasional’. Untuk ketahanan nasional, Pak Jokowi lebih banyak menyoroti masalah yang terkait dengan pertahanan, sedangkan untuk politik luar negeri... pemaparan Pak Jokowi kurang mengena saat terkait dengan masalah Laut Cina Selatan.
6.   Penampilan Pak Jokowi sekarang yang seringkali tersenyum atau bersikap sinis, menyindir-nyindir saat orasi kampanye dan reaktif atas kritik, sedikit banyak  menurunkan penilaian orang terhadap Pak Jokowi yang selama ini menampilkan dirinya sebagai orang yang santun dan sederhana. Kubu Jokowi-JK juga sering tampil menyerang kandidat yang lain dan menganggap Prabowo-Hatta sebagai rival yang harus dikalahkan, sedangkan Pak Prabowo dalam pidato-pidato nya seringkali mengatakan kalau Jokowi-JK bukanlah lawan... mereka adalah saudara kita dan juga salah satu putra terbaik bangsa. Hal inilah yang membuat masyarakat berubah pandangan, memberi nilai positif untuk Prabowo dan sedikit negatif untuk Jokowi.
7.   Kurang maksimalnya kerja mesin politik partai koalisi pengusung Jokowi-JK. Melihat sistem kerja team sukses dan team pendukung sepertinya terjadi kurang koordinasi dan berjalan masing-masing, terlihat dari seringnya terjadi bantahan-bantahan atas apa yang disampaikan oleh salah satu anggota team sukses oleh team sukses yang lain. Misalnya, suatu ketika Prof. Musda Mulia menyampaikan kepada media tentang rencana penghapusan kolom agama dari KTP, tetapi pada kesempatan lain... pernyataan tersebut dibantah oleh anggota team sukses yang lainnya. Kubu Jokowi-JK lebih banyak mengandalkan kerja para relawan.
8. Â Berkembangannya masalah korupsi bus TransJakarta yang juga menyeret nama Pak Jokowi, meski Pak Jokowi selalu bungkam bila ditanya perihal kasus tersebut dan di published nya laporan keuangan Pemda DKI Jakarta oleh BPK, juga membuat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terutama warga Jakarta.
9.   Kejadian terbaru adalah tindakan anarkis oleh para pendukung/simpatisan Jokowi-JK kekantor TV One di Pulogadung dan Yogyakarta, berupa penyerbuan dan penyegelan kantor disertai corat-coret dengan kalimat-kalimat yang kasar. Tindakan tersebut dipicu oleh adanya pemberitaan dari TV One mengenai adanya kader-kader PDIP yang menganut faham komunis. Sebetulnya berita yang diangkat oleh TV One mengenai hal tersebut bukanlah berita baru, karena pada bulan Desember 2013 sudah ada di media-media online seperti Merdeka.com, LKBN Antara dan lain-lain.
Tindakan tersebut ditambah dengan komentar dari Pak Tjahjo Kumolo, Ibu Megawati dan juga Pak Jokowi yang seolah lepas tangan sepertinya melegalkan stigma masyarakat tentang premanisme pada kader atau simpatisan PDIP.
Sedangkan hal-hal yang masih bisa menjadi penolong akan elektabilitas Jokowi-JK adalah adanya pemilih fanantik yang lebih bersifat emosional, mereka tetap setia memilih Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP apapun penilaian orang terhadap mereka. Kerja para relawan dan juga dukungan artis-artis, pemberitaan di media-media pendukung yang gencar dan juga iklan yang terus menerus, masih bisa menahan laju penurunan elektabilitas Jokowi-JK. Akan tetapi, menjelang akhir masa kampanye... kubu Jokowi-JK terlihat seperti kehabisan amunisi, ataukah sedang menyiapkan kejutan baru...? semoga saja bisa cukup membantu dan bukan sesuatu yang negatif, karena masyarakat sekarang sudah semakin melek informasi dan lebih pintar dalam menilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H