Mohon tunggu...
Dyana Ulfach
Dyana Ulfach Mohon Tunggu... -

pelajar di SMK N 11 Semarang, Hobi menulis, suka kebebasan, musik, menyukai semua yang berhubungan dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalam Kesadaranku #2

22 Februari 2014   18:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari minggu itu rasanya cepat secepat kilat. Dan sekarang, harus bertemu tiang bendera lagi. Harus berdiri lebih lama dari biasanya dengan barisan semut. Harus bertemu dengan mata pelajaran kewarganegaraan yang mmembosankan. Ah.. melelahkan!.
Mereka mulai meninggalkan pot rumput berukuran raksaksa ini. tapi, aku memlih waktu yang tepat saja. Saat di atas pot ini hanya tertinggal beberapa orang saja. Aku paling malas kalau harus berebut. Aku hanya perlu sedikit bersabar. Karena aku akan lebih lama menjadi jemuran yang dijemur di atas pot. Saat jemuran-jemuran yang lainnya terangkat, sekarang giliranku.Langkahku tidak seperti biasanya. Aku percepat dengan jangkauan yang lebih lebar lagi. Bulan Agustus memang sedang musim kemarau. Tidak salah kalau aku mempercepat langkahku.
Dengan caraku yang aku lakukakan tadi, aku juga menjadi satu-satunya siswa di kelas yang datangnya terakhir. Tapi aku tidak terlalu memperdulikan hal itu. Semua masih sama saja. Gaduh. Pasalnya bu Riani belum datang. Jika di kelas ini ada cctv, mungkin akan terlihat lucu. 10 menit pertama anak-anak masih segar bugar dan ceria. 10 menit ke dua wajah-wajah antusias mulai terpamerkan. 10 menit yang ke tiga kepala sudah berubah menjadi batu yang paling berat. Mata juga sudah letih. Tapi yang aku heran, bu Riani tidak pernah marah melihat perlakuan kami terhadapnya yang terdengar kurang sopan cenderung kurang ajar itu. Beliau guru paling sabar. Tapi mata pelajarannya paling tidak aku sukai.
Negara. Jika semua urusan negara sudah ada yang mengatur, kenapa aku juga ikut mengaturnya. Katanya menghargai negara dengan menghormati bendera. Setiap hari senin kalau tidak hujan aku juga hormat bendera. Teman-teman yang lain berisik aku diam. Menghayati. Tapi, apa masih perlu aku mengetahui susunan kabinet dan tugas-tugasnya? Apa aku juga harus menghafal semua aturan yang tertera pada UUD 1945 yang sampai saat ini aku tidak paham dengan hal tersebut. Rumit.
“nu, ntar anak-anak mau main futsal di belakang sekolah. Mau ikut nggak?” Gino teman sebangkuku yang teramat gila dengan dunia bola. Hari-harinya hampir tidak bisa lepas dengan bola. Smartphone yang dia miliki dengan akun twitter yang dia punya juga digunakannya untuk sekedar meng-update berita mengenai bola. Entah bola luar negeri ataupun dalam negeri. Jujur, aku tidak terlalu suka dengan bola. Bola sepak terutama. Tapi, kalau bola basket masih mendingan. Apa lagi tenis meja. Itu faforitku. Tapi sayang, anak kelas cenderung menyukai bola sepak.
“nggak. Mending nge game di rumah” alat perang melawan mata pelajaran bu Riani sudah aku siapkan. Rapi diatas meja. “sori broo. Ya, kali aja kamu tertarik main bola hari ini.” cukup diam dengan gerakan kepala kekanan dan ke kiri, aku yakin Gino tahu kalau jawabanku “tidak”.
“bbuugg” buku Erna jatuh 10 cm dari kaki kananku. “eh sori sori Nu. Bisa ambilin nggak. Aku lagi nyari duit nih. Tolong. Hehe” memang terlihat jelas kalau Erna sedang sibuk. Aku ambil buku tebal Erna yang di beri sampul kertas kado berwarna cokelat. Erna memang penggila warna coklat. Hampir semua barangnya berwarna cokelat. “bruug” aku menaruhnya di meja Erna lagi. Tanpa keluar satu patah katapun dari bibir. “makasih ya nu” Erna masih mencari-cari uangnya yang katanya hilang di tas bermerek warna cokelatnya. “nggak ketemu?” tanyaku. “enggak. Ternyata aku nggak bawa dompet. Hehe. Maklum lah Nu, kan emang aku orangnya pelupa. Hehe”
“Brigta nggak masuk?”
“enggak. Katanya dia kena cacar. Sepi deh bangku sebelahku.” Wajahnya persis seperti Lina saat mati listrik di jam-jam tayang drama korea. Geli.
“oh, trus ntar bisa pulang kan?”
“bisa sih. Kalau di jemput. Kalau nggak jalan. Kalau nggak nebeng. Hehe”
“alah Erna modus.” Saut Gino.
“nggak !”
“sori nih Na, ntar anak-anak cowok pada mau futsal. Jadi nggak bisa nganter.” Ya, kejadian seperti ini memang tidak satu dua kali terjadi pada Erna. Dia berangkat bersama ayahnya yang katanya kerja di pusat kota sana. Dan pulangnya malam. Jadi, kalau pikunnya kumat seperti sekarang ini anak-anak cowoklah yang mengantarnya pulang. Sebenarnya dia bisa pulang sendiri dengan jalur angkot. Tapi, kalau dompet berisi uangnya saja tidak dia bawa, mau gimana bayarnya?
“yaah, gitu ya. yaudah deh. Ntar minta jemput aja.”
“berani nunggu sampe malem?” tanyaku yang terdengar ketus.
“wiii.. jangan remehkan keberanianku. Hahaha” manusia super duper aneh. Lagi kesusahan bisa-bisanya bercanda. Itu yang aku suka dari Erna. Dia tidak mau menonjolkan masalahnya kepada teman-temannya. Dia selalu terlihat senang. Jadi, yang ada dipikiran anak-anak tentang Erna adalah “manusia tanpa masalah”.
“aku nggak ikut main futsal sih. Tapi kan tahu sendiri aku pake sepeda.”
“ya, kalau mau nganterin pake sepeda juga nggak apa-apa. Malah keliatan so sweet kan.”
Genit! Ganjen! Cukup memalingkan pandangan ke bu Riani yang sudah masuk kelas, maka Erna akan diam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun