Ya, menurut pengakuan seorang ibu yang kami tanyai di jalan tadi sebagian besar ruko-roko di sini hanya buka menjelang makan siang. Setelah itu tutup dan baru akan buka kembali untuk menyajikan makan malam. Wah... teratur sekali ya kehidupan di sini, seperti tak ada persaingan bisnis. Menandakan beban kehidupan dan ekonomi tidak separah di Indonesia dan di Cina. Aku dan Lynn geleng-geleng kepala.
Kami berjalan-jalan beberapa blok menyusuri ruko-ruko yang sebagian besar tutup, sekadar menghabiskan waktu. Masih satu jam lagi hingga Koh Samui buka. Kami menemukan sekawanan merpati yang sangat jinak di sudur jalan. Mereka sama sekali tak terganggu dengan kehadiran kami yang kian mendekat. Mereka hanya akan terbang jika benar-benar merasa tertanggu. Seperti saat aku dengan sengaja menghentakkan kaki di dekat mereka. Kami juga menemukan penjual milk soya sebagai penawar rasa lapar. Menurut Connie Ipoh juga terkenal dengan milk soya, biskuit dan salty chicken.
Perjuangan kami tak sia-sia menunggu hingga Koh Samui buka. Makanan yang disajikan di sana sangatlah lezat. Pemilik restoran, wanita paruh baya yang sangat mengerti bagaimana mengambil hati kami adalah penduduk Ipoh asli yang telah banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara. Dia bahkan dapat menyebutkan beberapa makanan lokal dari Cina begitu mengetahui Lynn berasal dari Wuxi. Dia juga sangat lancar menyebutkan perkedel, sop buntut dan sate saat mengetahui aku berasal dari Indonesia. Dia memberikan dua jempol pada ketiga makanan tadi. Kami sempat berfoto-foto bersamanya.
Bye... bye... Koh Samui! Aku mengerti sekarang, pasti sang pemilik restoran juga terpikat dengan kawasan Koh Samui. Semoga suatu saat aku kan dapat menjejakkan kakiku di sana, sebuah kawasan berbukit-bukit dengan panorama hamparan laut di hadapannya, luas dan hening.
@ GA 641, 1-9-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H